Perkembangan ekspor dan impor
Pada paruh pertama 2025, hubungan dagang Belanda dengan Indonesia mengalami lonjakan signifikan, sekaligus memperlihatkan arah baru perdagangan kedua negara. Produk berbasis nabati, khususnya asam lemak industri dan minyak sawit, muncul sebagai primadona yang mendominasi nilai impor Belanda dari Indonesia. Kenaikan tajam pada komoditas-komoditas ini menandai semakin kuatnya peran Indonesia dalam memasok kebutuhan bahan baku hijau bagi industri Eropa, yang tengah menjalani transisi energi dan ekonomi rendah karbon.

Nilai impor Belanda dari Indonesia pada Januari–Juni 2025 mencapai sekitar US$2,77 miliar, melonjak 46,1 persen dibanding periode yang sama tahun 2024. Ekspor Belanda ke Indonesia pun tumbuh, namun lebih terbatas, sebesar US$576,9 juta atau naik 23,9 persen. Dengan arus perdagangan yang timpang ini, Belanda menanggung defisit perdagangan sebesar US$2,19 miliar, lebih besar dibandingkan defisit US$1,43 miliar pada semester pertama tahun sebelumnya.
Produk utama yang diimpor Belanda dari Indonesia
Pola defisit yang semakin melebar ini sejatinya bukan hal baru, melainkan refleksi dari struktur perdagangan kedua negara. Indonesia mengekspor bahan baku nabati dan produk konsumsi bernilai menengah ke Belanda, sementara Belanda mengekspor barang manufaktur berteknologi dan farmasi dalam skala lebih kecil. Namun, yang menarik pada 2025 adalah skala lonjakan impor Belanda dari Indonesia, terutama pada kelompok asam lemak industri (HS 3823) yang nilainya meningkat hampir tiga kali lipat.


Asam lemak industri ini mencatat nilai sekitar US$357,8 juta hanya dalam enam bulan pertama 2025, naik 196,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Produk ini banyak digunakan dalam pembuatan sabun, surfaktan, kosmetik, pelumas, serta biofuel. Eropa yang tengah mempercepat agenda transisi energinya semakin bergantung pada bahan baku bio-based untuk menggantikan input fosil. Lonjakan impor asam lemak dari Indonesia adalah cermin nyata dari pergeseran struktur industri tersebut.
Selain asam lemak, minyak sawit dan fraksinya (HS 1511) juga mencatat pertumbuhan luar biasa. Nilainya mencapai US$126,5 juta, meningkat 113,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Minyak sawit tidak hanya masuk ke industri pangan, tetapi juga ke sektor energi terbarukan, khususnya biodiesel. Dalam data semester pertama 2025, biodiesel (HS 3826) yang diekspor Indonesia ke Belanda juga naik pesat, 86,1 persen menjadi US$56,1 juta. Jika digabungkan dengan berbagai turunan sawit lainnya, komoditas ini menjadi fondasi utama arus perdagangan dari Indonesia ke Belanda.

Tak hanya bahan baku nabati, produk alas kaki juga menjadi penopang penting. Sepatu dengan bagian atas tekstil dan sol karet atau plastik (HS 6404) mencatat nilai US$134,3 juta, naik 25,4 persen. Sepatu dengan bagian atas kulit (HS 6403) juga tumbuh hingga US$111,4 juta. Bahkan jenis sepatu lain seperti HS 6402 (sol dan atas karet/plastik) meningkat hampir 46 persen menjadi US$104,6 juta. Kombinasi tiga kelompok alas kaki ini saja menyumbang lebih dari US$350 juta dalam enam bulan, menandakan bahwa Indonesia telah menjadi pemasok utama produk ritel alas kaki di pasar Eropa, dengan Belanda sebagai pintu distribusinya.
Sektor kimia lain juga mencatat pertumbuhan. Kelompok asam monokarboksilat jenuh (HS 2915), misalnya, mencapai US$128,2 juta, naik 21,3 persen. Produk ini penting dalam industri resin, ester, dan pelarut kimia. Turunan lemak dan minyak nabati lain (HS 1518) bahkan meningkat drastis 293,7 persen, menjadi US$83,8 juta. Data ini menunjukkan bahwa rantai pasok oleokimia dari Indonesia semakin dalam, tidak hanya sebatas minyak sawit mentah, tetapi juga turunannya yang lebih bernilai.
Ada pula komoditas yang secara tiba-tiba melonjak karena sifat transaksi yang tidak reguler, atau biasa disebut lumpy. Cocoa butter (HS 1804), misalnya, mencatat lonjakan lebih dari 40 kali lipat menjadi US$62,5 juta, meskipun pada tahun sebelumnya nilainya hampir tidak ada. Fenomena ini menggambarkan diversifikasi ekspor Indonesia, meski tidak selalu konsisten setiap tahun.
Selain bahan baku, produk yang mendukung industri percetakan Belanda juga menunjukkan tren positif. Tinta cetak (HS 3215) tumbuh 23,9 persen menjadi US$90,3 juta, sedangkan mesin cetak (HS 8443) naik 50,9 persen menjadi US$80,6 juta. Hal ini menarik karena sektor percetakan di Eropa mengalami transformasi digital, tetapi permintaan untuk mesin dan tinta tetap terjaga, dengan Indonesia berperan sebagai pemasok penting.
Namun tidak semua produk bergerak positif. Bungkil atau ampas hasil industri minyak (HS 2306) justru turun 31 persen, menjadi US$51,3 juta. Produk ban karet (HS 4011) juga melemah lebih dari 37 persen. Beberapa produk makanan olahan seperti HS 2106 juga mengalami penurunan. Ini menandakan bahwa meskipun arus besar ditopang oleh asam lemak, sawit, dan alas kaki, beberapa komoditas lain menghadapi tekanan dari harga global dan perubahan preferensi pasar.
Persaingan dengan negara ASEAN


Dalam konteks ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan perdagangan tercepat dengan Belanda. Impor dari kawasan ASEAN pada Januari–Juni 2025 mencapai US$27,32 miliar, dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia sebagai pemasok besar. Namun, Indonesia mencatat pertumbuhan paling tinggi, didorong oleh lonjakan permintaan sawit, biodiesel, dan produk turunan oleokimia. Ekspor Belanda ke ASEAN di sisi lain hanya sekitar US$5,52 miliar, sehingga defisit Belanda terhadap kawasan ini mencapai US$21,8 miliar. Kondisi ini memperlihatkan peran Asia Tenggara sebagai pemasok utama bahan baku industri Eropa, sementara Belanda lebih banyak menyalurkan barang modal dan farmasi.
Negara partner utama Belanda


Jika dilihat dari peta mitra dagang utama, Indonesia masih berperan kecil dalam struktur perdagangan Belanda secara keseluruhan. Ekspor Belanda paling banyak tertuju ke negara-negara tetangga seperti Jerman, Belgia, dan Prancis, diikuti oleh Inggris, Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol. Indonesia hanya menempati urutan ke-58 tujuan ekspor, dengan nilai US$576,9 juta atau sekitar 0,1 persen dari total ekspor Belanda. Pada sisi impor, Indonesia berada di peringkat ke-31, dengan pangsa sekitar 0,6 persen. Meski relatif kecil, angka pertumbuhan yang tinggi membuat posisi Indonesia semakin strategis, terutama karena produk yang diekspor sesuai dengan kebutuhan baru industri Eropa.
Tantangan Indonesia ke depan
Faktor-faktor yang memengaruhi pola perdagangan ini cukup beragam.
Pertama, peran Belanda sebagai hub logistik Eropa melalui pelabuhan Rotterdam. Banyak barang dari Indonesia masuk Belanda bukan untuk konsumsi domestik, melainkan untuk didistribusikan ke negara-negara Uni Eropa lainnya. Re-ekspor inilah yang membuat angka perdagangan besar dan sangat fluktuatif, tergantung kondisi rantai pasok global.
Kedua, kebijakan dagang dan kontrol teknologi juga berperan. Pada 2025, Belanda memperketat ekspor peralatan semikonduktor, sementara hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa dipengaruhi oleh dinamika tarif.
Ketiga, transisi hijau Uni Eropa membawa dampak yang sangat nyata. Penerapan mekanisme CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) mendorong pergeseran impor dari produk beremisi tinggi menuju bahan bio-based yang lebih ramah lingkungan. Di sinilah asam lemak dan minyak sawit memainkan peran penting. Namun, peluang ini datang dengan syarat: produk harus dapat ditelusuri asalnya dan memenuhi kriteria keberlanjutan, termasuk regulasi EUDR (EU Deforestation Regulation).
Keempat, siklus harga energi dan komoditas juga ikut menentukan. Ketika harga minyak dunia lebih rendah dibanding 2024, nilai impor migas menurun, sementara harga minyak nabati dan permintaan biofuel justru naik, memperbesar kontribusi komoditas berbasis sawit dan oleokimia dari Indonesia.
Kelima, kondisi domestik Belanda memengaruhi permintaan. Investasi infrastruktur dan transportasi yang meningkat pada 2025 mendorong impor mesin dan perangkat IT dari Asia, sementara pemulihan konsumsi rumah tangga di Eropa meningkatkan permintaan alas kaki dan pakaian dari Indonesia.
Bagi Indonesia, kondisi ini memberi peluang sekaligus tantangan. Peluangnya jelas: pasar Belanda sebagai pintu masuk utama ke Uni Eropa semakin membutuhkan bahan baku bio-based, dan Indonesia adalah pemasok yang kompetitif. Tantangannya, ekspor berbasis sawit dan oleokimia harus memenuhi standar keberlanjutan yang makin ketat. Selain itu, ketergantungan pada komoditas siklikal membuat ekspor rentan terhadap fluktuasi harga. Diversifikasi ke produk bernilai tambah, seperti oleokimia spesialti, elektronik sederhana, atau furnitur ramah lingkungan, akan memperkuat posisi Indonesia.
Kerja sama dengan perusahaan Belanda juga dapat membuka jalan baru, terutama dalam bidang logistik, sertifikasi, dan efisiensi energi. Rotterdam sebagai hub Eropa menawarkan akses luas, tetapi tanpa pemenuhan standar dan inovasi produk, peluang itu bisa hilang.
Singkatnya, semester pertama 2025 menunjukkan wajah ganda perdagangan Belanda dengan Indonesia. Di satu sisi, Belanda semakin bergantung pada impor asam lemak, sawit, dan produk alas kaki dari Indonesia. Di sisi lain, defisit yang melebar mengingatkan bahwa hubungan ini asimetris dan rapuh jika tidak dikelola dengan strategi yang tepat. Ke depan, kunci keberlanjutan arus dagang ini terletak pada tiga hal: kepatuhan terhadap standar hijau, kemampuan menelusuri rantai pasok, dan peningkatan nilai tambah produk. Jika ketiganya dapat dipenuhi, maka arus perdagangan Belanda–Indonesia tidak hanya akan tumbuh sehat pada paruh kedua 2025, tetapi juga semakin kokoh sebagai fondasi hubungan ekonomi jangka panjang.
