Fenix Museum Migrasi Pertama

Fenix Museum Migrasi Pertama

Museum tentang migrasi perdana di dunia

Katendrecht dulu dikenal sebagai kawasan lampu merah dan ‘chinatown’ – nya Rotterdam, namun sekarang dua fenomena itu tidak tampak lagi di sana. Selain berbagai rumah makan rapih dan kedai-kedai minum terdapat juga museum migrasi pertama di dunia. Fenix adalah nama museum migrasi yang dibuka resmi oleh Ratu Maxima bulan Mei 2025.

Museum ini bukan bangunan baru, melainkan bekas gudang perkapalan “San Fransisco” seluas 16.000 m² dari tahun 1923.  Gudang terbesar di dunia yang didisain oleh arsitek  Rotterdam C.N. van Goor ini terletak dekat dermaga untuk kapal besar Holland-Amerika Lijn. Dan di sinilah tempat berangkat dan tibanya sekitar 3 juta migran di abad ke 19 dan 20.

Museum migrasi Fenix terletak di kawasan bersejarah dan sangat bermakna. Baik bagi banyak orang Belanda yang meninggalkan negerinya untuk membangun kehidupan baru di benua lain, maupun bagi para pendatang dari Cina, Yunani, Tanjung Verde dan berbagai penjuru lain yang datang ke Belanda untuk tujuan sama.

Dari luar gedung tampak menjulang tangga terbuat dari stainless steel berbentuk heliks ganda setinggi 30 meter. Begitu masuk museum langsung tampak tangga sepanjang 550 meter dan terdiri dari 336 anak tangga yang berdiri gagah di jantung museum. Arsitek tangga adalah Ma Yansong dari China, ia merancang  tangga berbentuk heliks ganda dengan struktur tornado,  agar gedung dan tangga ini mencerminkan kisah-kisah  migran dan migrasi.

Tangga ini menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Saat menaiki dan menuruni tangga ini pengunjung bisa berpikir tentang migrasi dan hubungan mereka dengan kisah-kisah kehidupan migran. Ibarat arus migran,  tiap orang menentukan arahnya masing-masing. Tidak mustahil pengunjung juga punya kisah perjalanan sendiri. Paling tidak sambil berjalan pengunjung bisa merasakan gelombang migrasi dan setiba di atas kita melihat pemandangan kota pelabuhan ini.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Tangga heliks ganda.
Dokumentasi oleh: Cor Perrier

Museum ini memberi pemahaman tentang migrasi pada para pengunjung, menyelami  kisah migrasi melalui karya seni dari seniman-seniman masa kini. Di lantai dasar museum terdapat sebuah ruang besar yang dipenuhi dengan ribuan koper dalam bentuk jalur berliku-liku [labirin]. Tanpa penjelasan pengunjung mengerti, itulah yang kita bawa jika melakukan perjalanan.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Labirin dibentuk dari koper-koper.

Salah satu lukisan yang dipamerkan di dalam museum ini diletakkan di muka jendela;  sebuah karya Maurits Ver Huel.  Sekitar 200 tahun lalu Maurits Ver Huell berada di tempat ini, dan menggambar apa yang dilihatnya, yakni kehebatan Rotterdam sebagai kota dagang. Maurits Ver Huell selain pelukis dan penulis adalah juga perwira angkatan laut yang pada 1817 terlibat dalam Perang Pattimura.  

Foto diambil oleh Cor Perrier, Di sinilah Maurits Ver Huell 200 tahun lalu melukis kota dagang Rotterdam.

The Throne of Consciences, 2019

Gonçalo Mabunda (Mozambique, 1975). Ia dibesarkan dalam perang saudara yang berkecamuk di Mozambique. Perang adalah salah satu penyebab orang meninggalkan tanah airnya, pada perang ini diperkirakan 1,5 juta orang melarikan diri. Gonçalo membuat sebuah kursi tahta  dari Kalasjnikovs, pistol dan peluru yang ditemukannya sebagai sisa-sisa perang. Inilah pesannya: Barang siapa yang duduk di tahta, harus menjaga perdamaian.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Sosok yang menduduki tahta wajib menjaga perdamaian.

Where Are We Going, 2020 – 2022

Efrat Zehavi (1974) lahir di Haifa,  dalam perjumpaan secara spontan dengan sesama penghuni Rotterdam di jalan, di taman di perpustakaan dan kemudian berbincang ia selalu bertanya: ‘Kamu berasal dari mana?’ Dari pertanyaan ini mengalirlah berbagai cerita. Zehavi menyimpulkan jika kita tidak tahu dari mana kita berasal kita pun tidak tahu ke mana tujuan kita. Sambil ngobrol Zehavi membuat wajah mereka dari tanah liat. Zehavi membuat 116 wajah sebagai penghargaannya pada penghuni-penghuni yang mewarnai Rotterdam.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Wajah-wajah yang mewarnai kota Rotterdam.

Tampan Ship of Souls, 2020

Jennifer Tee (Nederland, 1973) membuat kolase dari helai mahkota bunga tulip. Meski Belanda dijuluki negara tulip, bunga ini berasal dari Turki. Di abad ke 17 tulip sangat mahal dan menyebabkan spekulasi yang menggila. Kini serangkai bunga tulip terbayar oleh banyak orang. Dalam karya Jennifer Tee tampak perahu, sosok-sosok serta pengaruh Tampan dan kain Palepai dari Lampung. Inilah kisah keluarga Jennifer Tee dengan latar belakang kolonial. Ayah Jennifer adalah etnis Tionghoa dari Indonesia yang datang ke Belanda pada tahun 1950-an. Kakek Jennifer dari pihak ibu adalah seorang petani umbi bunga tulip.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Unsur-unsur Indonesia dan Belanda bergabung dalam karya seni Jennifer Tee.

Luz Brilhante e Cintilante, 2023 – 2025

Raquel van Haver (Colombia, 1989) dan Ivan Barbosa (Nederland, 1979)

Sudah sejak berpuluh-puluh tahun lalu orang-orang Tanjung Verde berpetualang ke seluruh penjuru dunia, demikian juga mereka sampai ke Rotterdam. Raquel van Haver mewawancarai para pendatang dari Tanjung Verde yang tinggal di kota pelabuhan ini tentang dampak migrasi bagi yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Berdasarkan percakapan-percakapan ini Raquel membuat instalasi dua sisi. Satu sisi mereka yang berada di Tanjung Verde dan di sisi lain mereka yang berada di  Rotterdam. Di bingkai kayu tampak para pemusik yang mempertahankan budaya dan identitas mereka seperti diperdengarkan Ivan Barbosa.

Foto diambil oleh Cor Perrier, Karya Raquel van Haver ini dibuat dari minyak, aspal, kapur, abu dan tutup botol menggambarkan kenangan masyarakat Tanjung Verde di Rotterdam dan kisah-kisah pribadi.
Dokumentasi oleh: Cor Perrier

Posts Releases

1 2 3 4