Asal Mula
Lale Gül (1997) adalah penulis etnis Turki yang menarik perhatian umum di Belanda dengan buku perdananya Ik ga leven [Aku akan hidup] terbit pada 2020. Buku itu diterima baik oleh satu kalangan, namun dikecam pedas dan dihujat kalangan lain. Setelah sukses besarnya dan bertubi-tubi dihujani ancaman ia mengatakan akan berhenti menulis tentang Islam.
Lale Gül adalah seorang anak perempuan sulung dari keluarga buruh migran Turki yang lahir dan dibesarkan di Amsterdam. Dengan bukunya Ik ga leven ia menceritakan betapa sulitnya bagi remaja dari keluarga Turki tradisional yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, karena mereka hidup di Belanda. Dengan buku perdananya ini Lale menuntut kebebasannya, ia tidak sudi lagi hidup seperti tanaman.
Dokumentasi oleh: Cor Perrier
Meski bertahun-tahun tinggal di Amsterdam, orang tuanya tetap tidak fasih berbahasa Belanda, tidak membaur (berintegrasi), tetap mempertahankan ajaran dan tradisi Islam ketat yang mereka bawa dari sebuah desa kecil di Turki. Sangat banyak larangan dan aturan yang harus dipatuhi oleh anak perempuan, sebaliknya anak laki-laki sangat bebas.
Aku dalam buku ini adalah Büsra, sejak kecil ia diwajibkan orang tuanya ke koran school [sekolah pengajian]. Seperti halnya anak-anak yang wajib sekolah di Belanda ia juga ke sekolah biasa, sebuah sekolah Kristen, namun lingkungan rumah, keluarga, saudara-saudara dan handai taulan semua Muslim. Orang tuanya, terutama ibunya sangat ketat mengawasi putrinya, begitu menginjak usia akil balik ia wajib berkerudung.
Ia ingin berbusana modis, ingin bersolek, ingin pakai perhiasan, tetapi tu dilarang keras! Maka semua ia lakukan sembunyi-sembuyi, sebelum pulang ia mencuci muka agar tidak tersisa bedak dan gincu. Si Büsra ini juga pakai wangi-wangian, menurut ibunya ‘Hanya pelacur yang berlaku begitu’.
Kerja di pasar swalayan untuk uang saku ia harus pulang sebelum gelap, padahal di Belanda pada musim dingin jam 4 sore sudah gelap. Sebagai mahasiswi ia bekerja menjadi pelayan di restoran. Ini menjadi sumber pertengkaran di rumah, terutama ibunya melarangnya dengan alasan tamu-tamu rumah makan menegak minuman yang mengandung alkohol. Haram!
Büsra kesal diperlakukan berbeda dari adik laki-lakinya, yang tidak pernah dilarang apapun. Dengan nada mengejek ia menjuluki orang tuanya sebagai ‘mijn verwekker’ [‘pembuat-pembuatku’]. Dalam buku ini jelas penulis sangat marah pada orang tuanya, terutama pada ibunya.
Dengan nada mencibir Büsra mengatakan, ibunya lebih mementingkan pengajian daripada prestasi sekolah sang anak. Suatu kali sebelum ujian dia harus mengasuh si adik kecilnya yang selisih 13 tahun, karena ibu mau ke pengajian. Luapan frustrasi Büsra, membuatnya pindah ke rumah nenek yang tinggal berhadap-hadapan dengan orang tuanya.
Tanpa segan-segan si ibu sering memeriksa kamar tidurnya di rumah nenek. Yang membuatnya tidak minggat adalah nenek dan Defne, adiknya yang masih kecil. Büsra sangat yakin jika dia lari dari rumah, pasti dia akan dikucilkan dan tidak akan bisa bertemu dengan nenek dan adik-adiknya yang ia kasihi.
Diam-diam Büsra punya pacar di Den Haag. Kalau janjian dengan pacar dia berbohong, harus lembur kerja di pasar swalayan. Ibunya tiap kali menilponnya (videocall) untuk mengetahui betulkah dia sedang kerja, namun Büsra mengabaikan tilpon ibunya. Ini membuat si ibu marah besar, ayah dipaksa campur tangan dan tidak jarang Büsra dipukul atau ditampar.
Perempuan yang menjadi penari, penyanyi dan artis sudah pasti masuk neraka, begitu diajarkan padanya. Menurut ibunya; para atlit yang saat berolahraga mengenakan pakaian ketat melawan susila. Penulis mengecam beberapa segi dalam kultur dan tradisi Islam yang mengekangnya.
Secara terbuka penulis menjelaskan penindasan yang ia rasakan karena dia adalah perempuan. Menurut tradisi Turki orang tua dinilai dari perilaku putri mereka, baik oleh Allah maupun oleh saudara-saudara dan tetangga.
Büsra juga penggemar musik, suka berteman, sangat ingin santai dengan teman-teman, nonton film dan bepergian. Semua itu dilarang; pergi, belanja ke pasar sekalipun hanya boleh dengan ayah atau dikawal saudara laki-laki. Janjian dengan lawan jenis, dilarang, apalagi menjalin hubungan cinta.
Apalah yang dapat membahagiakan seorang gadis remaja dalam hidup seperti ini? Sembunyi-sembunyi dia punya pacar, seorang pemuda Belanda, Freek namanya. Sudah pasti pembuatnya (ortu) akan murka jika mengetahui anak perempuan mereka punya pacar Belanda.
Büsra akrab dengan orang tua pacarnya yang orang Belanda itu, tapi sebaliknya orang tua Büsra tidak kenal Freek. Ayah Freek adalah pendukung partai ekstrim kanan PVV-nya Wilders. Berkenalan dengan pacar anaknya si bapak berangsur-angsur menjadi toleran terhadap migran, bahkan ada kasih antara bapaknya Freek dengan Büsra.
Freeklah yang memberi nuansa lain pada kelompok pendatang Turki yang menurutnya demikian kompak. Memang betul semua serba diawasi tapi mereka juga bergotong royong. Büsra sangat bimban, memilih keluarga sendiri atau memilih kebebasannya?
Buku ini bukan kecaman terhadap Islam secara umum, melainkan sebagai kisah dan pengalaman pribadi Lale Gül. Pembaca melihat perjalanan pribadi penulis, bagaimana ia berkembang dan mencari kebebasannya dalam bingkai Islam. Perjalanan panjang sulit dan penuh rintangan.
Kisah pribadi dalam buku ini ditulis secara berani dan blak-blakan, dan penulis sadar ini bisa menjadi masalah. Gaya bahasanya kadang-kadang sulit, namun juga penuh humor. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
![Ik ga leven [Aku akan hidup] 348 halaman, karya Lale Gül](https://voksamsterdam.nl/wp-content/uploads/2025/08/foto-tumpukan-buku-1-300x169.jpg)