Pagi di Amsterdam selalu punya suara sendiri. Kadang bunyi rantai sepeda yang berpacu di antara kanal atau suara tram yang melaju di persimpangan, kadang desir angin dari sungai IJ yang membawa aroma garam dan kopi, dan kadang bau ganja dari coffee shop. Tapi tahun ini, bunyi itu terdengar lain: lebih khidmat, lebih sadar waktu. Di setiap jembatan dan pasar, di Museumplein dan Nieuwmarkt, ada satu kalimat yang bergema di spanduk dan layar: “750 jaar Amsterdam.”
Dari Lumpur Amstel
Tujuh setengah abad lalu, sekitar tahun 1275, daerah ini bukanlah kota. Ia hanya lahan gambut yang basah di tepi sungai Amstel, dihuni nelayan dan petani miskin yang membangun rumah di atas tanah yang selalu harus ditinggikan tiap lima atau sepuluh tahun. Di situlah, menurut dokumen yang kini disimpan di Arsip Kota Amsterdam, tercatat untuk pertama kalinya nama Amestelledamme, “bendungan di Amstel.”
Hari itu, Count Floris V dari Holland memberi para penduduk hak istimewa untuk berlayar bebas di seluruh wilayah tanpa membayar pajak. Sebuah keringanan kecil, tapi bersejarah dan dari situlah kisah kota ini dimulai: bukan karena penaklukan, melainkan karena perjanjian, kecerdikan, dan janji kebebasan.
Di atas bendungan tanah itulah kelak muncul pasar kecil bernama De Plaetse, cikal bakal Dam Square, tempat orang berdagang ikan, kain, dan harapan.
Peta dari Langit
Enam abad kemudian, pada 1538, pelukis Cornelis Anthonisz melakukan sesuatu yang belum pernah terpikirkan: ia melukis Amsterdam dari udara. Dari ketinggian imajiner, ia menggambarkan setiap rumah, gereja, gerbang, bahkan lapangan gantung di Volewijck. Lukisan itu bukan sekadar panorama, melainkan pernyataan identitas: kota ini telah cukup percaya diri untuk melihat dirinya sendiri, dari atas, sebagai satu kesatuan.
Di tengah lukisan tampak sungai Amstel membelah kota, pelabuhan penuh kapal dagang, dan di pertengahan aliran air itu: Dam Square. Di sanalah, antara dua gereja, Oude Kerk dan Nieuwe Kerk, denyut Amsterdam mulai mengeras menjadi nadi ekonomi dan budaya Eropa.
Bir, Haring, Kota dan Kebebasan
Ekonomi pertama Amsterdam tidak dibangun dari emas, melainkan dari busa bir dan garam ikan. Sejak 1323, kota ini memegang monopoli impor bir dari Hamburg. Tak lama, nelayan Amsterdam menemukan teknik pengawetan ikan haring yang membuat ikan tahan berhari-hari di kapal. Dari dermaga kecil di Damrak, aroma asin itulah yang membuka jalan menuju Laut Utara dan Baltik menuju jaringan dagang yang akan melahirkan kekuatan baru.
Pada abad ke-15 dan ke-16, Amsterdam menjadi simpul dalam jaring besar perdagangan Eropa: kayu dari Baltik, gandum dari Polandia, garam dari Portugal, dan besi dari Swedia. Di pelabuhan, berbagai bahasa bercampur: Belanda, Jerman, Latin, Yiddish, Portugis. Kota ini mulai belajar satu pelajaran penting yang terus bertahan hingga kini: bahwa keberagaman adalah sumber kekuatan.
Tapi perdagangan tak pernah steril dari politik. Ketika Eropa dilanda perang agama, Amsterdam berjuang menemukan dirinya di antara Katolik dan Protestan. Tahun 1578, setelah pergolakan panjang, kota ini akhirnya berpihak pada Pangeran William van Oranje dan gagasan Republik Tujuh Provinsi, sebuah negara baru yang menolak tirani dan menjunjung kebebasan berkeyakinan.
Dari republik inilah muncul dua kata yang kelak mendefinisikan Belanda: vrijheid (kebebasan) dan verdraagzaamheid (toleransi). Prinsip yang memberi tempat bagi pelarian Spanyol, pengungsi Yahudi Portugis, dan pedagang dari setiap pelabuhan yang mau berdagang dengan jujur.
Zaman Keemasan: Kota yang Membangun Diri
Awal abad ke-17 menandai babak paling gemilang dalam sejarah Amsterdam. Tahun 1602 berdiri VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang pertama di dunia yang menjual saham kepada publik. Lebih dari setengah modalnya datang dari Amsterdam. Kapal-kapal berangkat ke Asia, membawa rempah, sutra, dan kisah-kisah tentang dunia baru yang jauh di timur, termasuk kepulauan nusantara yang kelak disebut Indonesia.
Kekayaan mengalir ke kota. Kanal-kanal besar digali membentuk sabuk emas (Grachtengordel), rumah-rumah sempit tapi tinggi dibangun berjajar di sepanjang air. Ini cara penduduk kaya menunjukkan gengsi karena pajak dihitung atas lebar fasad (bagian depan rumah).
Di masa itu pula, seni dan filsafat tumbuh mekar: Rembrandt melukis cahaya dari jendela bengkelnya di Jodenbreestraat; Spinoza menulis tentang kebebasan berpikir; Descartes berdiam di sini dan menemukan cogito-nya; Vondel menulis drama tentang nasib dan keadilan. Kota ini menjadi laboratorium ide dan uang, iman dan keraguan, tempat di mana dunia mencoba menyeimbangkan antara keuntungan dan kebijaksanaan.
Ketika Angin Berbalik dan Datangnya Modernitas
Namun emas tak pernah abadi. Abad ke-18 membawa malapetaka: perang dengan Inggris, kesenjangan sosial, dan korupsi para regent. Dari rumah-rumah besar di Herengracht, kekuasaan menua dalam kenyamanan dan di jalan-jalan sempit Jordaan, kemiskinan menumpuk.
Gerakan rakyat menuntut perubahan dan tahun 1795 gelombang revolusi dari Prancis menembus perbatasan. Republik Belanda tumbang, diganti kerajaan di bawah Louis Napoleon. Ketika saudaranya, Napoleon Bonaparte, jatuh, Amsterdam kembali menjadi ibu kota simbolik bukan politik, karena pemerintahan tetap di Den Haag.
Abad ke-19 membawa suara baru: peluit lokomotif dan industrialisasi menjalar ke Amsterdam dan kota tumbuh dua kali lipat antara 1870–1900. Kanal baru digali, pelabuhan diperluas hingga Laut Utara dan Stasiun Sentral berdiri megah pada 1889.
Namun di balik kemajuan, kemiskinan tetap hadir yang melahirkan Woningwet 1901, undang-undang perumahan yang memberi dasar bagi kota untuk membangun rumah layak bagi pekerja. Dari sinilah muncul arsitektur khas Amsterdamse School, bangunan bata merah dengan lekuk lembut, simbol kesejahteraan dan kesetaraan yang dirancang dalam batu.
Perang dan Kebangkitan
10 Mei 1940, langit negeri datar itu kembali kelabu. Pasukan Wehrmacht Nazi Jerman menyerbu; Belanda menyerah lima hari kemudian. Amsterdam, kota yang bangga dengan toleransi, menyaksikan sebagian dirinya dihapus: lebih dari 60.000 warga Yahudi dideportasi ke kamp-kamp konsentrasi.
Namun kota ini juga melahirkan perlawanan: pemogokan Februari 1941, aksi pertama dan satu-satunya di Eropa Barat di mana warga non-Yahudi mogok demi membela tetangga mereka yang ditindas. Dari loteng di Prinsengracht, seorang gadis bernama Anne Frank menulis buku harian yang kelak membuat dunia mengerti arti kehilangan.
Ketika Belanda akhirnya dibebaskan pada 5 Mei 1945, Amsterdam kehilangan 10 persen penduduknya. Tetapi ia masih berdiri: letih, lapar, tapi tidak mati.
Pasca-perang, Amsterdam menata ulang dirinya: pelabuhan dibuka kembali, Schiphol tumbuh menjadi bandara internasional, dan kanal-kanal diperbarui. Ketika Indonesia merdeka dan perdagangan rempah berhenti, kota ini beralih pada industri baru: perbankan, logistik, dan budaya.
Namun tahun-tahun 1960-an membawa revolusi sosial lain: generasi muda menolak ketertiban lama. Provo, hippies, dan musisi jalanan menjadikan Dam Square panggung protes dan puisi. Pada malam penobatan Ratu Beatrix (1980), kerusuhan pecah di sekitar Nieuwe Kerk; spanduk “Geen woning, geen kroning” (“tak ada rumah, tak ada penobatan”) berkibar di antara gas air mata.
Dari kekacauan itu lahir kebijakan baru: compact city, kota padat yang manusiawi. Amsterdam memutuskan untuk tidak menyebar ke luar, melainkan memperbaiki dari dalam: merevitalisasi kanal, menambah taman, dan menjadikan sepeda raja jalanan.
Langit Baru di Atas Kanal Lama
Kini, tujuh setengah abad setelah nama Amestelledamme ditulis, wajah Amsterdam kembali berubah. Di luar lingkar kanal warisan UNESCO, menara-menara kaca tumbuh: Rembrandt Tower (150 m) di Omval, A’DAM Tower di seberang Sungai IJ, dan gugus gedung di Zuidas: World Trade Center, Valley, dan Symphony.
Di selatan, Bullewijk berdenyut di sekitar stadion Johan Cruijff Arena, dengan proyek baru The Ensemble dan SPOT Amsterdam yang menjulang; di utara, kawasan Sluisbuurt bersiap menjadi skyline masa depan.
Namun meski kota ini kini memiliki puluhan gedung lebih tinggi dari 75 meter, tidak satu pun berdiri di pusat bersejarahnya. Di sana, ketinggian dibatasi agar cahaya sore masih bisa menimpa air kanal dengan pantulan lembut yang sama seperti di lukisan Rembrandt.
Amsterdam mungkin menatap masa depan, tapi ia tak pernah berpaling dari cerminnya sendiri.
Mokum: Rumah yang Tak Pernah Tertutup
Nama panggilan “Mokum”, dari bahasa Yiddish mokum, “tempat”, muncul dari komunitas Yahudi yang pernah menjadikan kota ini pelabuhan aman. Kini, maknanya meluas: Mokum berarti rumah bagi siapa saja.
Lebih dari 200 kebangsaan hidup berdampingan di sini. Setiap musim semi, taman Vondelpark dipenuhi bahasa yang berbeda; setiap sore, aroma bumbu India, Suriname, Turki, dan Indonesia menari di udara.
Belanda mungkin negeri kecil, tapi Amsterdam adalah dunia dalam skala manusia. Di sini pernikahan sesama jenis pertama di dunia disahkan (2001), monumen untuk komunitas LGBT, Homonument, berdiri di kanal Keizersgracht, dan 92 persen penduduk percaya bahwa siapa pun berhak hidup sesuai dirinya.
Toleransi bukan slogan di kota ini, melainkan cara hidup yang dipraktikkan setiap hari: di tram yang penuh, di pasar yang ramai, di bangku tepi kanal tempat orang asing berbagi roti dan percakapan.
Kota yang Terus Belajar
Tujuh ratus lima puluh tahun bukan sekadar angka, melainkan perjalanan mental sebuah masyarakat: dari menaklukkan air ke menata udara, dari berdagang rempah ke memperdagangkan ide.
Amsterdam hari ini bukan hanya kota wisata dengan museum dan sepeda, tetapi laboratorium kebijakan urban: energi bersih, kanal ramah iklim, hunian inklusif, transportasi bebas emisi. Kota yang dulu dibangun dengan sekop kini dibangun dengan data namun dengan jiwa yang sama: praktis, terbuka, dan penuh imajinasi.
Di atas semuanya, ada satu warisan yang tak berubah: kecerdikan rakyat biasa. Mereka yang menggali, menimba, memperbaiki, mengecat ulang jendela yang miring, dan menolak menyerah pada air, waktu, atau kekuasaan.
Dari sebuah bendungan lumpur kecil di tepi sungai, lahirlah kota yang kini menjadi rumah bagi hampir satu juta jiwa dari dua ratus bangsa. Dari perahu ikan hingga menara kaca, dari doa biara hingga festival musik, Amsterdam berjalan sejauh ini tanpa kehilangan dirinya.
Dan pada tahun 2025, saat lonceng Nieuwe Kerk berdentang dan refleksi senja jatuh di kanal Herengracht, orang bisa berkata dengan senyum: “Mokum blijft Mokum”, Amsterdam tetaplah Amsterdam, tua tapi selalu muda, kecil tapi tak terbatas, kota yang lahir dari air dan bertahan karena manusia tak pernah berhenti mencintainya.
Amsterdam memang bukan Chairil Anwar, tetapi Ia mau hidup seribu tahun lagi!





