Leven op een Vulkaan Biografi Franz Junghuhn Karya Ulbe Bosma

Leven op een Vulkaan Biografi Franz Junghuhn Karya Ulbe Bosma

Hidup di atas gunung berapi

357 halaman, biografi Franz Junghuhn, karya Ulbe Bosma.

Ulbe Bosma adalah sejarawan,  guru besar luar biasa Vrije Universiteit dan peneliti senior di Internationaal Instituut voor Sociaal Geschiedenis.

Franz Wilhelm Junghuhn.  Mendengar nama itu, banyak orang Indonesia mengasosiasikannya dengan kina, namun itu hanya sebagian dari jasanya. Franz Junghuhn adalah ilmuwan serba bisa; ia dokter, geoloog, penulis, botanicus dan juga petualang yang tanpa mengenal lelah mendaki gunung-gunung berapi berbahaya di pulau Jawa. 

Franz Junghuhn lahir di Mansfeld (Austria) 26 oktober 1809, ketika Napoleon (1769-1821) berada pada puncak kejayaannya, beberapa bulan sebelum itu tentara Napoleon menaklukkan Austria sehingga menjadi negara boneka. Junghuhn dibesarkan dalam keluarga Protestan sederhana di masa suram. Ayahnya sangat religius dan berwatak keras, ini membuat Franz sejak kecil sering menghabiskan waktu di luar rumah dengan masuk keluar hutan dan mendaki bukit-bukit di sekitar tempat tinggalnya.

Memang sejak dini dia suka menyendiri, teman akrabnya adalah tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis cendawan, kegemaran ini sangat berbeda dari keinginan orang tuanya. Mereka menginginkan dia menjadi chirurgijn [ahli bedah], di abad ke19 berarti seorang perawat luka-luka dan profesi itu dikombinasi dengan tukang cukur. Awalnya dia membantu ayah, tapi kemudian ketika berusia 17 tahun dia sekolah kedokteran.

Ayahnya tidak menyadari ambisi anaknya, yang ingin jadi ilmuwan. Karena ayah tidak mau lagi membiayai studinya, Junghuhn muda harus berhenti, menjadi depresif, bahkan pernah coba bunuh diri. Akhirnya ia diperbolehkan studi di Berlin.

Franz ini bersumbu pendek, ketika ada mahasiswa menyebutnya  ‘si tolol’ pertengkaran berujung menjadi duel. Inilah sebab Junghuhn dihukum 10 tahun penjara. Ketika menjalani hukuman penjara di Koblenz dia berpura-pura gila, tetapi mempelajari situasi penjara dan menyusun siasat melarikan diri, dan berhasil. Hanya setahun ia menjalani hukuman.

Juga di masa studinya Junghuhn tetap masuk keluar hutan, mempelajari berbagai jenis tumbuhan dan cendawan. Ia membuat banyak catatan berharga. Pada 1829 dia menulis artikel yang diterbitkan di majalah ilmiah, dia baru berumur sekitar 20 tahun saat itu, dan sudah mulai membangun nama dalam dunia akademi.

Sebagai dokter muda Junghuhn berangkat ke Aljazair untuk merawat tentara Prancis yang sedang perang di negara jajahannya. Pekerjaannya sebagai dokter tentara tidak banyak, oleh karena itu ia sering berkeliaran mengumpulkan tanaman. Komandannya kesal maka dia diperbolehkan pulang ke Paris.

Di Paris dia sekolah ke École Botanique, berkenalan dengan Christiaan Hendrik Persoon, seorang ahli cendawan yang menyarankan Junghuhn ke Hindia Belanda. Pada 1835 dia berangkat ke Batavia, perjalanannya melalui Tanjung Harapan (ujung selatan benua Afrika) berlangsung berbulan-bulan. Selama itu ia hanya melihat air laut yang diselingi obak dan kalau beruntung melihat lumba-lumba, begitu menurut catatannya.

Setibanya di Batavia dia ke Weltevreden, Junghuhn dipekerjakan di rumah sakit tentara, ia berpangkat perwira rendah. Di masa inilah Junghuhn banyak melakukan perjalanan penuh tantangan ke hutan-hutan, mendaki gunung-gunung berapi di pulau Jawa, mempelajari alam, mengkoleksi tanaman, jamur, menggambar, membuat peta, membuat catatan harian.

Dari catatan-catatan hariannya dapat disimpulkan bahwa Junghuhn sangat berbakat menulis, dengan luwes ia menuangkan pemikirannya ke dalam kata-kata. Selain menulis dia juga menggambar gunung-gunung yang ia daki seperti gunung Gede,  Guntur dan Merapi.

Dokumentasi oleh: Cor Perrier
Gunung Merapi dari Java Album /The Public Domain Review
Gunung Gede dari Java Album /The Public Domain Review
Dokumentasi oleh: Cor Perrier

Dalam perjalanannya mendaki gunung dia selalu membawa beberapa penduduk lokal untuk memikul berbagai peralatan dan kebutuhan perkemahan. Tidak jarang perjalan yang dilakukannya sangat berbahaya, dan penduduk lokal yang memikul peralatannya mengetahui hal itu, untuk mencegah mereka lari meninggalkannya dia jalan di belakang mereka.

Perjalanan-perjalanan itu makan banyak waktu dan tenaga, lagi pula Junghuhn yang rakus belajar, tidak pernah turun gunung dengan tangan hampa. Dalam perjalanan ke pelosok, ke pedalaman, ke pegunungan, ia mengkoleksi berbagai jenis tanaman, cendawan, batu, kerang dan fossil. Berpeti-peti jumlah koleksi Junghuhn, kini sebagian besar disimpan di musium Naturalis Leiden.

Perhatiannya yang mendalam terhadap alam mirip ilmuwan Alexander von Humboldt (1769-1859), yang melakukan hal sama di Amerika Latin. Itulah sebabnya Junghuhn dijuluki Si Humboldt dari Jawa, namun minatnya tidak berhenti di pulau itu. Dia juga melakukan studi antropologi di tanah Batak, antara lain kehidupan suku Batak yang terisolasi.

Dia menulis tentang flora, fauna dan kehidupan penduduk di sana. Meskipun dia cukup kagum dengan suku-suku bangsa yang hidup di pedalaman ini dia mengkritik karena mereka makan orang. Sebaiknya mereka diperkenalkan dengan agama Kristen, begitu pendapatnya. Junghuhn pun berkorespondensi dengan rekan-rekannya tentang agama, pandangan hidup sosial, falsafah keilmuan holisitik (menyeluruh) dan menghubungkan berbagai disiplin ilmu.

Meskipun ia menderita disentri amuba dia tetap bekerja secara obsesif, tetap mendaki gunung, mengkoleksi dan membuat catatan-catatan, dan mengabaikan kesehatannya. Untuk mengatasi keluhannya ia menggunakan opium (candu). Dalam salah satu catatannya terbaca Junghuhn depresif dan kesepian ‘tidak ada siapapun di seluruh pulau ini yang merindukan kehadiranku’, demikian tulisnya dan bunyi gamelan, disebutnya brisik. 

Junghuhn yang cerdas dan pemberani ini punya watak kurang menyenangkan: angkuh, suka mengkritik dan murah bertengkar. Pertengkaran dengan ilmuwan-ilmuwan lain menghambat publikasinya. Junghuhn yang berpena tajam tidak segan-segan mengkritik penguasa kolonial, tetapi juga memanfaatkan kedudukan penguasa kolonial untuk melakukan banyak perjalanan berbahaya.

Namun karena dia ilmuwan papan atas ia berhasil menduduki jabatan tinggi di Natuurkundige Commissi (komisi ilmu alam di Leiden). Ia kembali ke Belanda pada 1850,  menikah dengan Louise Koch, putri perwira tinggi di Leiden, menjadi warganegara Belanda (1853). Bersama istri ia kembali ke pulau Jawa pada 1855. Dua tahun kemudian lahir putranya.

Prestasi Junghuhn sebagai perintis perkebunan kina di Indonesia baru dimulai setelah Hasskarl, juga seorang ahli botani pada 1852 membawa benih pohon kina dari Peru. Junghuhn melakukan percobaan mengembangbiakkan berbagai jenis pohon kina di beberapa tempat. Selain mencari jenis pohon ia juga harus melihat apakah tanah dan ketinggiannya cocok untuk pertumbuhan kina. Semua ini punya sejarah panjang dengan bermacam masalah dan pertengkaran. Salah satu tempat pengembangan perkebunan kina yang dirintis oleh Junghuhn adalah di lereng gunung Malabar.

Junghuhn bersama keluarga tinggal di Pengalengan, daerah yang amat ia cintai hingga akhir hayatnya. Ketika tidak bisa dielakkan lagi ajal akan menjemputnya, jendela kamar kerjanya dibuka agar ia bisa memandang Tangkuban Perahu di kejauhan.  Franz Wilhelm Junghuhn tutup usia pada 24 April 1864, dalam usia 55 tahun. Selaras dengan kehidupannya  Junghuhn dimakamkan di Lembang, dan tugu makamnya terdapat di cagar budaya Taman Junghuhn.

Posts Releases

1 2 3 4