Pemulung Kumpeni dan Dampak Tak Terduga Kebijakan Hijau Belanda

Pemulung Kumpeni dan Dampak Tak Terduga Kebijakan Hijau Belanda

Pria jangkung itu mendorong bahunya sejauh mungkin untuk menggapai botol yang berada di dalam tong sampah tepat di tengah Damrak, satu jalan terkenal yang menghubungkan Stasiun Sentral Amsterdam dan Dam Square—ikon utama kota ini. Bermata biru dan berambut pirang, wajahnya sumringah saat memasukkan botol tersebut ke dalam kantong belanja besar. Tidak terbayangkan apabila profil pemulung seperti ini ada di Indonesia; pasti akan dipanggil “pemulung kumpeni”—sebutan masyarakat Hindia Belanda kepada pegawai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Pemandangan seperti ini—pemulung kumpeni—sering terlihat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kota besar, setelah Pemerintah Belanda mengharuskan produk minuman meminta uang jaminan kepada konsumen.

Kebijakan ini dilakukan untuk memudahkan daur ulang botol plastik yang jumlahnya sekitar 1,5 miliar botol per tahun. Strategi ini cukup berhasil karena banyak rumah tangga di Belanda yang kini rajin mengumpulkan botol plastik untuk ditukarkan kembali dengan uang di mesin yang disediakan di supermarket, stasiun, dan beberapa tempat umum lainnya. Selain itu, di jalan-jalan dan taman-taman lebih sedikit botol plastik berserakan dibanding sebelum kebijakan ini dibuat.

Namun, masih banyak botol dan kaleng yang dibuang ke tempat sampah, terutama oleh para turis yang tidak mengetahui aturan ini. Botol dan kaleng yang tetap dibuang ke dalam tong sampah menimbulkan masalah baru. Tong sampah pinggir jalan yang umumnya tertutup rapat dan dikunci kini banyak dibuka paksa oleh para pemulung kumpeni—menyebabkan sampah lainnya berserakan dan mengotori kota.

Selain tempat sampah yang rusak dan sampah berceceran yang menimbulkan bau, kondisi ini juga menambah beban kerja petugas kebersihan dan biaya tambahan bagi pemerintah kota. Inilah dampak tak terduga—unintended consequences—dari kebijakan lingkungan Pemerintah Belanda yang sejatinya berusaha mengurangi polusi sampah plastik.

Ketika Botol dan Kaleng Menjadi Mata Uang Jalanan

Di atas kertas, sistem ini tampak rapi dan efisien. Setiap botol atau kaleng minuman bernilai €0,15 untuk ukuran kecil dan €0,25 untuk besar yang bisa ditarik kembali bila dikembalikan ke mesin otomatis. Pemerintah menargetkan 90 persen botol dan kaleng kembali ke sistem daur ulang. Tapi di lapangan, realitasnya jauh lebih rumit.

Menurut laporan EenVandaag dan riset IPR Normag, empat kota besar: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht harus menanggung biaya tambahan sekitar €9,4 juta per tahun akibat kerusakan tong sampah dan peningkatan volume sampah di ruang publik. Kota-kota ini, terutama di area turis dan stasiun, menjadi arena baru bagi orang-orang yang mencari penghasilan dari “emas plastik”. Sejak nilai deposito diperkenalkan, botol dan kaleng menjadi semacam “mata uang jalanan.”

Seorang aktivis kebersihan kota, Dirk Groot, yang dikenal sebagai “Trashminator”, mengakui bahwa kebijakan ini berhasil mengurangi sampah di pinggir jalan raya hingga 80 persen. Namun di pusat kota, efeknya berkebalikan. “Orang-orang membongkar tong sampah untuk mengambil botol. Kadang tongnya rusak, sampah lain berserakan. Kota jadi kotor lagi,” ujarnya.

Kondisi ini memperlihatkan paradoks kebijakan lingkungan modern: ketika niat baik bertemu dengan perilaku sosial yang tak selalu rasional, unintended consequences of green policy. Bagi sebagian warga, terutama mereka yang hidup di jalanan, botol bekas kini berarti makan malam. Tetapi bagi kota, mereka juga berarti ongkos kebersihan yang meningkat.

Turis Bingung, Tong Sampah Menjerit

Masalah lain datang dari turis: Amsterdam menerima lebih dari 20 juta turis setiap tahunnya. Banyak dari mereka tidak tahu bahwa botol air mineral yang mereka beli sebenarnya bisa dikembalikan untuk mendapat uang. Akibatnya, ribuan botol dibuang begitu saja setiap hari di tong sampah.

Untuk mengatasi hal ini, Statiegeld Nederland meluncurkan kampanye berbahasa Inggris. Spanduk besar bertuliskan “Return your bottle, get your deposit back!” kini terlihat di Damrak, Vondelpark, Rembrandtplein, dan bahkan di atas ban berjalan bagasi di Bandara Schiphol. Saat perayaan besar seperti Pride dan King’s Day, pemerintah juga menambah tempat donasi botol dan mengerahkan petugas tambahan untuk memungut kaleng dan plastik.

Upaya ini penting, karena kebingungan turis bukan sekadar masalah edukasi tetapi juga ekonomi. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sekitar €87 juta uang deposito tidak pernah diklaim kembali oleh konsumen. Artinya, ada jutaan botol dan kaleng yang tak pernah kembali ke sistem daur ulang. Dana besar ini disimpan oleh industri pengelola sampah, digunakan untuk memperbaiki sistem dan membiayai kampanye publik.

Namun bagi kota, jumlah itu juga berarti kehilangan potensi kebersihan. Uang tidak diklaim, botol tetap tercecer, dan tong sampah tetap jadi ajang perburuan para pemulung kumpeni.

Tampak dua orang pengunjung mengklaim deposito di mesin setor botol otomatis yang disediakan oleh supermarket di Belanda (Foto: Hengky Kurniawan)
Tampak dua orang pengunjung mengklaim deposito di mesin setor botol otomatis yang disediakan oleh supermarket di Belanda (Foto: Hengky Kurniawan)

Ketika Bisnis Enggan Berbagi Beban

Salah satu penyebab rendahnya tingkat pengembalian adalah minimnya titik pengumpulan (collection points). Mesin pengembalian botol biasanya hanya tersedia di supermarket besar. Jika seseorang membeli minuman di taman hiburan, bioskop, atau kios kecil, ia harus membawa botol itu sepanjang hari untuk kemudian mengembalikannya di tempat lain. Banyak yang tidak mau repot.

Masalahnya, sebagian besar pelaku bisnis enggan menyediakan tempat pengembalian. Dalam survei NOS, toko-toko, bioskop, dan bahkan stasiun kereta menolak kewajiban menyediakan mesin pengumpulan. Alasannya beragam: biaya tinggi, ruang terbatas, atau antrean panjang pada jam sibuk. Taman hiburan menganggapnya mengganggu kenyamanan pengunjung. SPBU beralasan bahwa konsumsi minuman biasanya dilakukan di mobil, bukan di lokasi pembelian.

Padahal, regulator lingkungan Belanda (ILT) telah memerintahkan operator sistem, Verpact, untuk memperluas titik pengumpulan hingga 5.400 lokasi baru sebelum 2027. Jika target tidak tercapai, denda hingga €300 juta siap menanti. Saat ini, tingkat pengembalian baru mencapai sekitar 78 persen untuk botol dan 82 persen untuk kaleng, jauh di bawah target nasional.

Situasi ini menunjukkan tarik-menarik kepentingan antara kebijakan publik dan sektor swasta. Di satu sisi, Belanda ingin mencapai circular economy—ekonomi sirkular yang menutup siklus limbah. Di sisi lain, bisnis tak mau menanggung biaya tambahan dari ambisi hijau negara mereka sendiri.

Eksperimen dan Inovasi: Dari Mesin Bergerak hingga Pembayaran Digital

Pemerintah tidak tinggal diam. Dalam beberapa perayaan besar seperti King’s Day, Statiegeld Nederland mencoba pendekatan baru: mesin setoran bergerak. Delapan mesin besar ditempatkan di lokasi ramai di Amsterdam, Utrecht, dan Eindhoven. Mesin ini bisa menampung lebih dari seratus botol sekaligus dan menawarkan pilihan pembayaran digital melalui Tikkie—aplikasi populer di Belanda—atau opsi donasi ke badan amal lokal.

Hasil uji coba ini cukup menggembirakan. Warga dan turis dengan mudah menemukan mesin tersebut, dan beban kerja supermarket berkurang. Upaya ini menunjukkan bahwa teknologi dan desain kebijakan bisa beradaptasi dengan perilaku masyarakat. Tapi skala masih menjadi tantangan—delapan mesin tidak akan cukup untuk negara dengan ratusan juta botol beredar setiap bulan.

Ironi Kota Bersih

Kebijakan deposito di Belanda adalah cermin menarik tentang bagaimana niat baik bisa menghasilkan efek samping yang tak terduga. Secara nasional, sistem ini berhasil menurunkan sampah di jalan raya dan menumbuhkan kesadaran baru tentang daur ulang. Tapi di level kota, terutama di tempat-tempat ramai, justru menimbulkan persoalan baru: tong sampah rusak, sampah berserakan, dan munculnya “kelas pemulung” baru—bukan dari negara berkembang, melainkan warga lokal, pensiunan, bahkan mahasiswa yang mencari tambahan uang receh.

Bagi sebagian orang, tindakan mereka terlihat memalukan: “masa orang Belanda sampai mengorek tong sampah?”—tetapi bagi yang lain, itu adalah bentuk partisipasi lingkungan, walau tanpa sengaja. Mereka mengambil kembali nilai yang dibuang orang lain, sebuah refleksi menarik tentang ekonomi limbah di masyarakat modern.

Dalam konteks ini, “pemulung kumpeni” bukan hanya istilah satir, tapi simbol ambiguitas kebijakan hijau di negara maju. Ia menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi sirkular tak selalu mulus. Di balik kebijakan yang canggih dan mesin pengembalian yang berteknologi tinggi, tetap ada ruang bagi perilaku manusia yang sulit diprediksi.

Akhir yang (Belum) Bersih

Sebuah ironi mungkin sedang berlangsung: ketika negara maju sibuk menata sistem daur ulang yang kompleks, mereka justru menghadapi masalah yang dahulu hanya terlihat di dunia berkembang: pemulung, sampah tercecer, dan birokrasi yang berbelit. Bedanya, kali ini para pemulungnya berkulit putih, berambut pirang, bermata biru dan berbahasa Belanda.

Mungkin kebijakan seperti ini memang butuh waktu panjang untuk menemukan keseimbangannya. Sementara itu, para “pemulung kumpeni” akan terus berkeliling di antara Damrak, Vondelpark, dan Rembrandtplein, memunguti botol satu per satu—membantu kota tetap sedikit lebih bersih, sambil mengingatkan kita bahwa bahkan kebijakan paling hijau pun tak pernah sepenuhnya bebas dari warna abu-abu.

Posts Releases

1 2 3 4