Perdagangan Belanda dengan Dunia1

Memasuki paruh pertama tahun 2025, perdagangan Belanda dengan dunia menunjukkan pola yang relatif stabil meskipun dibayangi ketidakpastian global. Berdasarkan data Eurostat terbaru, total perdagangan Belanda dengan dunia sepanjang Januari–Mei 2025 mencapai US$ 714,3 miliar, meningkat sekitar 5,8% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Peningkatan ini terutama didorong oleh kinerja ekspor nonmigas, sementara impor juga tumbuh sehingga surplus perdagangan tetap terjaga.


Ekspor Belanda pada periode Januari–Mei 2025 tercatat US$ 379,6 miliar, naik 7,3% (yoy). Kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok mesin dan peralatan listrik (HS 84 dan HS 85), produk farmasi, serta produk pertanian olahan bernilai tinggi seperti susu bubuk dan keju. Sebaliknya, ekspor produk energi fosil dan bahan kimia dasar mengalami tekanan seiring melemahnya permintaan global akibat transisi energi dan efisiensi industri di kawasan Uni Eropa.

Impor Belanda sepanjang Januari–Mei 2025 mencapai US$ 334,7 miliar, meningkat 4,1% (yoy). Peningkatan ini terutama berasal dari impor bahan baku industri, khususnya mineral, minyak nabati, serta produk setengah jadi yang digunakan dalam industri kimia, farmasi, dan manufaktur teknologi tinggi. Adapun impor migas sempat mengalami fluktuasi: menurun pada kuartal I seiring koreksi harga energi global, namun kembali meningkat pada April–Mei 2025 dipicu ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang mendongkrak harga minyak.

Dari sisi neraca perdagangan, Belanda masih mencatatkan surplus sekitar US$ 44,9 miliar sepanjang Januari–Mei 2025, lebih tinggi dibandingkan surplus US$ 32,1 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Surplus ini menunjukkan daya saing ekspor Belanda tetap kuat – terutama pada sektor teknologi tinggi – sekalipun terjadi tekanan pada komoditas energi dan bahan baku industri.

Konteks Global: Kinerja perdagangan Belanda di awal 2025 tidak terlepas dari dinamika global. Beberapa faktor utama antara lain:
- Ketegangan Geopolitik: Konflik di Laut Merah dan Timur Tengah mengganggu jalur perdagangan internasional. Biaya logistik meningkat, memicu inflasi harga barang impor di Eropa, khususnya komoditas energi dan pangan.
- Perang Rusia–Ukraina: Perang yang berlarut-larut membatasi pasokan gas ke Eropa. Belanda sebagai hub energi Eropa berupaya beradaptasi melalui diversifikasi impor LNG dari AS, Qatar, dan Afrika Barat.
- Perlambatan Tiongkok: Melambatnya ekonomi Tiongkok sejak akhir 2024 menekan permintaan global untuk produk manufaktur dan energi. Namun, hal ini juga menurunkan harga beberapa komoditas, memberi keuntungan bagi negara pengimpor seperti Belanda.
- Kebijakan Hijau Uni Eropa: Implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mulai berlaku pada 2025 mendorong perubahan struktur perdagangan. Belanda harus mengimpor lebih banyak produk ramah lingkungan sambil mengurangi ketergantungan pada produk intensif karbon.
Dengan kondisi tersebut, Belanda masih mampu menjaga kinerja ekspor, tetapi pola impor semakin dipengaruhi oleh agenda transisi energi dan kebijakan keberlanjutan Uni Eropa.
Perdagangan Belanda dengan Negara ASEAN
Perdagangan Belanda dengan ASEAN sepanjang Januari–Mei 2025 menunjukkan peningkatan signifikan, meskipun kontribusinya masih relatif kecil dibandingkan dengan mitra dagang utama seperti sesama negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Tiongkok.
Impor Belanda dari ASEAN tercatat sebesar US$ 22,28 miliar, meningkat 22,0% (yoy) dibanding periode yang sama tahun 2024. Vietnam menempati posisi pertama sebagai pemasok utama dengan nilai US$ 6,91 miliar atau pangsa 31,0%, diikuti Malaysia sebesar US$ 4,35 miliar (19,5%), Thailand dengan US$ 4,26 miliar (19,1%), dan Singapura dengan US$ 2,36 miliar (10,6%). Indonesia berada di posisi kelima dengan nilai impor US$ 2,35 miliar, mencatat kenaikan pesat 49,0% (yoy) dan pangsa 10,5% dari total impor Belanda dari ASEAN.
Lonjakan ini mencerminkan meningkatnya permintaan Belanda terhadap minyak nabati, khususnya produk berbasis sawit dan turunannya, serta biodiesel dari Indonesia. Komoditas utama yang diimpor Belanda dari ASEAN masih terkonsentrasi pada minyak nabati (khususnya CPO dari Indonesia dan Malaysia), produk elektronik dan semikonduktor (dari Vietnam), serta kendaraan bermotor dan suku cadang (dari Thailand).
Sementara itu, ekspor Belanda ke ASEAN pada periode Januari–Mei 2025 tercatat sebesar US$ 4,51 miliar, tumbuh 8,1% (yoy) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Singapura tetap menjadi tujuan ekspor utama dengan nilai US$ 1,53 miliar atau pangsa 34,0%, diikuti Malaysia dengan US$ 731 juta (16,2%), Vietnam sebesar US$ 704 juta (15,6%), dan Thailand US$ 664 juta (14,7%).
Indonesia berada di posisi kelima dengan nilai ekspor US$ 489 juta, atau 10,8% dari total ekspor Belanda ke ASEAN, meningkat signifikan 22,2% (yoy). Ekspor utama Belanda ke ASEAN mencakup mesin industri, produk farmasi, serta produk susu olahan. Peningkatan ekspor terbesar terjadi ke Vietnam dan Malaysia, sementara ekspor ke Indonesia juga tumbuh kuat setelah sebelumnya relatif stagnan.
Dari sisi neraca perdagangan, Belanda masih mengalami defisit besar dengan ASEAN, mencapai sekitar US$ 17,77 miliar pada Januari–Mei 2025. Defisit ini mencerminkan ketergantungan tinggi Belanda terhadap impor bahan baku, energi nabati, dan produk setengah jadi dari negara-negara ASEAN, khususnya dari Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Perdagangan Belanda dengan Indonesia

Ekspor Belanda ke Indonesia
Perdagangan Belanda–Indonesia menunjukkan pertumbuhan kuat sepanjang Januari–Mei 2025. Total perdagangan mencapai US$ 2,773 miliar, meningkat 42,0% (yoy) dari periode yang sama 2024. Kinerja ini jauh di atas tren tahunan sebelumnya dan menandakan intensifikasi arus barang dua arah pada awal 2025.


Dari sisi ekspor Belanda ke Indonesia, nilainya mencapai US$ 456,760 juta atau naik 18,8% (yoy). Komposisi ekspor menggambarkan dua sektor utama: (i) kesehatan/farmasi dan teknologi tinggi, dan (ii) mesin serta bahan baku industri. Kelompok produk farmasi memimpin melalui HS 3002 (human/animal blood & immunological products) senilai US$ 32,086 juta (+113% yoy), sementara HS 3004 (medicaments) masih besar namun terkoreksi ke US$ 8,395 juta (−4,0% yoy).
Pada sisi teknologi, HS 8517 (peralatan telepon/komunikasi) melonjak tajam ke US$ 28,029 juta (+389% yoy), sejalan dengan kebutuhan infrastruktur digital. Lonjakan signifikan juga terlihat pada HS 8411 (turbojet/turbin gas) yang mencapai US$ 16,414 juta (+469,7% yoy), menandai permintaan proyek-proyek aviasi/energi.

Di kelompok mesin dan kendaraan, HS 8471 (komputer/automatic data processing) naik ke US$ 13,935 juta (+184,3% yoy), HS 8703 (kendaraan penumpang) melejit ke US$ 8,993 juta (+2.829,7% yoy dari basis rendah), sementara HS 8704 (kendaraan barang) justru sedikit melemah ke US$ 14,955 juta (−7,2% yoy).
Bahan baku industri berbasis sirkular tetap penting: HS 4707 (kertas bekas) US$ 19,890 juta (−1,1% yoy) dan HS 3915 (limbah plastik) US$ 15,203 juta (−6,5% yoy), mencerminkan kebutuhan input daur ulang sektor manufaktur Indonesia. Produk konsumsi bernilai tambah seperti HS 8510 (alat cukur listrik) mencapai US$ 22,137 juta (+39,6% yoy) dan HS 0405 (mentega/ghee) US$ 9,009 juta (+56,7% yoy).
Secara agregat, 50 komoditas terbesar menyumbang 79,8% dari total ekspor Belanda ke Indonesia (US$ 364,415 juta dari US$ 456,760 juta).
Impor Belanda dari Indonesia


Di sisi impor Belanda dari Indonesia, nilainya jauh lebih besar dan tumbuh lebih cepat: US$ 2,316 miliar (+47,7% yoy). Struktur impor tetap terkonsentrasi pada minyak nabati dan turunannya, alas kaki/padat karya, serta sebagian komoditas primer dan barang antara industri.
Posisi teratas ditempati HS 3823 (asam lemak industri/industrial fatty acids) sebesar US$ 310,258 juta (+214,0% yoy), diikuti HS 1511 (CPO & fraksi) US$ 123,054 juta (+162,8% yoy) dan HS 2915 (asam karboksilat jenuh) US$ 116,205 juta (+43,7% yoy). Kelompok alas kaki sangat menonjol: HS 6404 US$ 108,807 juta (+22,2% yoy), HS 6403 US$ 92,708 juta (+21,7% yoy), dan HS 6402 US$ 86,745 juta (+45,7% yoy).

Barang antara/kapital lain yang besar mencakup HS 8443 (mesin cetak) US$ 67,611 juta (+50,0% yoy), HS 2710 (produk minyak bumi olahan) US$ 61,497 juta (≈ stabil), HS 1804 (cocoa butter) US$ 61,343 juta (dari basis rendah 2024), dan HS 2818 (artificial corundum) US$ 56,724 juta (+176,6% yoy).
Produk agribisnis/primer lainnya: HS 1518 (minyak nabati olahan lain) US$ 75,690 juta (+278,9% yoy), HS 2306 (bungkil/residu minyak nabati) US$ 45,277 juta (−31,2% yoy), HS 1513 (minyak kelapa/inti sawit) US$ 42,139 juta (+14,6% yoy), HS 8711 (sepeda motor) US$ 40,396 juta (+925,8% yoy), HS 7202 (ferro-alloys) US$ 37,048 juta (+210,4% yoy) dan HS 8001 (timah tak diolah) US$ 32,181 juta (+71,0% yoy). HS 3826 (biodiesel) memang tumbuh kuat +59,9% yoy, namun nilainya US$ 38,034 juta—jauh bukan US$ 400+ juta. Artinya, lonjakan impor terbesar Belanda dari Indonesia pada 2025 lebih didorong asam lemak industri & CPO, bukan biodiesel.
Implikasinya terhadap neraca perdagangan: defisit Belanda terhadap Indonesia melebar dari −US$ 1,183 miliar (Jan–Mei 2024) menjadi −US$ 1,860 miliar (Jan–Mei 2025) atau +57,2%. Kesenjangan ini konsisten dengan peran Indonesia sebagai pemasok bahan baku minyak nabati & barang antara, sementara ekspor Belanda ke Indonesia lebih berupa barang modal/teknologi dan farmasi dengan nilai total yang lebih kecil.

Analisis Peristiwa Dunia dan Dampaknya terhadap Perdagangan
Beberapa peristiwa global yang berpengaruh pada perdagangan Belanda–Indonesia antara lain:
- Geopolitik Laut Merah: Gangguan jalur pelayaran melalui Terusan Suez akibat konflik regional menyebabkan biaya logistik ke Eropa meningkat hingga 20–30%. Hal ini berdampak pada ekspor Indonesia ke Belanda, khususnya produk dengan margin tipis seperti karet dan furnitur, yang biaya pengirimannya naik signifikan.
- Kebijakan CBAM Uni Eropa: Penerapan mekanisme penyesuaian karbon di perbatasan Uni Eropa mulai 2025 menjadikan produk beremisi tinggi – termasuk sawit, biodiesel, dan turunannya – menjadi sorotan. Meskipun menuai penolakan, permintaan Eropa terhadap produk tersebut tetap kuat karena sawit Indonesia masih kompetitif dibanding minyak nabati lain. Namun, eksportir Indonesia perlu segera beradaptasi dengan persyaratan sertifikasi jejak karbon agar produk mereka tetap dapat masuk pasar Eropa.
- Transisi Energi Eropa: Percepatan transisi ke energi terbarukan di Eropa mendorong permintaan biodiesel dan produk nabati lainnya sebagai alternatif bahan bakar fosil. Hal ini memberi peluang bagi ekspor Indonesia (misalnya CPO dan biodiesel) untuk mengisi kebutuhan tersebut, meskipun diiringi risiko regulasi keberlanjutan yang semakin ketat di masa depan.
- Perlambatan Ekonomi Global: Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lebih lambat menekan harga komoditas mineral dan logam. Di satu sisi, hal ini menguntungkan Belanda karena dapat mengimpor bahan baku dengan harga lebih rendah. Di sisi lain, Indonesia turut diuntungkan karena beberapa produk agribisnis (seperti kopi dan kakao) cenderung tidak terpengaruh penurunan harga global dan tetap memiliki permintaan yang stabil.
- Digitalisasi dan Teknologi Tinggi: Belanda terus memperluas ekspor produk teknologi tinggi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kebutuhan pembangunan infrastruktur digital dan telekomunikasi di Indonesia mendorong peningkatan ekspor peralatan telekomunikasi dan teknologi informasi dari Belanda. Investasi pada jaringan 5G, pusat data, serta otomasi industri di Indonesia membuka pasar bagi perusahaan Belanda yang memiliki keunggulan di sektor tersebut.
Implikasi bagi Indonesia
Dari analisis di atas, terdapat beberapa implikasi strategis bagi perdagangan Indonesia:
- Peluang di Sektor Energi Terbarukan: Permintaan biodiesel dan minyak nabati di Belanda serta Eropa tetap tinggi, meskipun dibayangi hambatan regulasi. Indonesia perlu memperkuat diplomasi ekonomi agar produk sawit dan turunannya dapat terus masuk ke pasar Eropa dengan memenuhi standar keberlanjutan (misalnya sertifikasi ISPO/RSPO dan penurunan emisi karbon).
- Diversifikasi Ekspor Non-Sawit: Kinerja positif komoditas seperti furnitur, produk perikanan, kopi, dan kakao menunjukkan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor bernilai tambah di luar sawit. Pengembangan produk premium berbasis nilai tambah (seperti specialty coffee, cokelat olahan, furnitur desain unggul) perlu ditingkatkan agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu komoditas.
- Kolaborasi Teknologi: Belanda memiliki keunggulan di bidang teknologi industri, agritech, dan kesehatan. Peningkatan kerja sama dan alih teknologi dengan Belanda dapat mendukung transformasi industri Indonesia – misalnya melalui investasi bersama di sektor pengolahan hasil pertanian, pembangunan sistem logistik cerdas, hingga proyek digitalisasi layanan kesehatan.
- Adaptasi Kebijakan Eropa: Indonesia harus proaktif merespons kebijakan hijau Uni Eropa. Penerapan CBAM dan berbagai regulasi lingkungan menuntut penyesuaian pada sisi produksi dalam negeri. Pemerintah dan pelaku usaha perlu mendorong adopsi sertifikasi karbon, peningkatan traceability produk, serta inovasi ramah lingkungan untuk memastikan produk ekspor Indonesia tetap diterima di pasar Eropa ke depan.
Negara Tujuan Ekspor dan Asal Impor Utama Belanda
Struktur perdagangan Belanda pada periode Januari–Mei 2025 memperlihatkan ketergantungan kuat pada mitra dagang tradisional di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur. Dari sisi ekspor, Jerman menempati posisi dominan sebagai pasar tujuan utama dengan nilai US$ 89,8 miliar, meningkat dibandingkan Januari–Mei 2024.
Posisi kedua ditempati Belgia US$ 43,0 miliar, diikuti Prancis US$ 30,0 miliar, Inggris Raya US$ 22,7 miliar, dan Amerika Serikat US$ 21,6 miliar. Sementara itu, Italia, Spanyol, dan Polandia masing-masing menyerap ekspor Belanda sekitar US$ 17,0 miliar, US$ 14,8 miliar, dan US$ 13,5 miliar. Swedia serta Tiongkok melengkapi sepuluh besar dengan US$ 8,5 miliar dan US$ 8,3 miliar.
Dominasi negara-negara Eropa Barat ini menegaskan kuatnya integrasi Belanda dalam rantai nilai Uni Eropa, sementara kontribusi pasar Asia (di luar Tiongkok) relatif terbatas. Indonesia sendiri berada jauh di luar kelompok utama, posisi ke-58 dengan pangsa 0,1%, sehingga pasar Indonesia bagi Belanda masih bersifat niche, terbatas pada komoditas tertentu seperti produk farmasi, mesin, dan susu olahan.

Dari sisi impor, pola ketergantungan Belanda menunjukkan kecenderungan serupa. Jerman merupakan pemasok terbesar dengan nilai impor US$ 48,8 miliar, sedikit di atas Tiongkok dengan US$ 47,2 miliar (Jan–Mei 2025). Amerika Serikat berada di posisi ketiga dengan US$ 30,3 miliar, sementara negara tetangga seperti Belgia, Irlandia, Inggris Raya, Prancis, Italia, dan Polandia bersama Norwegia melengkapi sepuluh besar pemasok Belanda.
Kecenderungan ini menegaskan peran Belanda sebagai hub perdagangan Eropa: Belanda mengimpor dalam jumlah besar dari tetangga dekatnya di Eropa Barat serta mitra utama global, kemudian melakukan proses nilai tambah atau distribusi ulang melalui jaringan logistiknya. Indonesia, tercatat menempati posisi ke-21 dengan nilai impor sekitar US$ 2,32 miliar pada Jan–Mei 2025.
Angka ini merefleksikan peran Indonesia yang cukup strategis dalam memasok minyak nabati, biodiesel, serta produk furnitur kayu dan karet ke Belanda, komoditas-komoditas yang semakin relevan dalam konteks transisi energi terbarukan dan ekonomi sirkular di Eropa.

Secara keseluruhan, perdagangan Belanda pada awal 2025 masih tumbuh positif di tengah ketidakpastian global. Dengan dunia, Belanda berhasil menjaga surplus berkat ekspor teknologi tinggi dan diversifikasi pasar ekspor.
Dengan ASEAN, defisit perdagangan Belanda tetap besar, menandakan ketergantungan pada bahan baku dari Asia Tenggara meskipun terdapat pertumbuhan ekspor ke kawasan ini. Sementara dengan Indonesia, perdagangan bilateral tumbuh sangat signifikan, meskipun defisit Belanda melebar akibat lonjakan impor komoditas unggulan Indonesia.
Bagi Indonesia, pasar Belanda tetap strategis sebagai pintu masuk utama ke Uni Eropa. Tantangan berupa regulasi hijau Eropa harus dijawab dengan inovasi dan penguatan aspek keberlanjutan. Di tengah perubahan lanskap perdagangan global, Indonesia perlu menyeimbangkan langkah antara mempertahankan keunggulan komoditas tradisional (seperti sawit dan produk turunannya) dan mengembangkan ekspor berbasis nilai tambah yang lebih beragam.
Kolaborasi dengan Belanda dalam teknologi dan investasi dapat menjadi katalis untuk peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global.
- Data perdagangan Belanda yang digunakan dalam laporan ini diekstraksi dari database EUROSTAT dengan tingkat kedetilan produk menurut klasifikasi Harmonized System (HS) 4 digit. Keterangan lebih lanjut mengenai regime pencatatan statistik ekpor/impor dalam EU dapat dilihat di https://ec.europa.eu/eurostat. Nilai perdagangan dalam mata uang Euro dan dikonversi mata uang US$. Laporan bulan terakhir menggunakan data perdagangan dengan selisih tiga bulan sebelumnya menunggu publikasi dari Eurostat. ↩︎
