Belanda adalah negara dagang “kelas berat” dengan skala pelabuhan, gudang, dan jaringan logistik membuat arus barang keluar-masuk Eropa seperti rutinitas harian. Data 2020–2024 menunjukkan impor Belanda sebesar USD 621,1 miliar (2024) dan ekspor USD 699,3 miliar sehingga neraca dagang surplus sebesar USD 78,2 miliar. Struktur impor/ekspor ditopang energi, mesin, elektronik, instrumen presisi, kendaraan, farmasi, serta kimia-plastik.
Posisi Indonesia
Dalam peta besar itu, Indonesia bukan mitra raksasa bagi Belanda jika diukur dari nilai total. Impor Belanda dari Indonesia pada 2024 tercatat sekitar USD 3,51 miliar atau kira-kira 0,6% dari total impor Belanda. Angka ini terlihat kecil sebagai pangsa, tetapi tidak “nol” secara ekonomi, karena Indonesia masuk melalui kategori yang relevan bagi industri dan konsumsi.
Dari data impor Belanda terlihat Indonesia kuat pada beberapa kelompok: minyak/lemak nabati, bahan kimia tertentu, serta campuran barang konsumsi seperti alas kaki, pakaian, furnitur, produk kayu, kopi/teh/rempah, ikan dan produk perikanan, dan berbagai manufaktur ringan. Di samping itu, Indonesia memasok bahan baku/antara (misalnya minyak nabati dan kimia) sekaligus barang konsumsi yang punya pasar stabil di Eropa.
Namun posisi Indonesia juga terlihat “rapuh” dalam arti sangat bergantung pada beberapa pos utama dan fluktuasi pengapalan. Ketika komoditas tertentu naik-turun (harga global, permintaan industri, atau jadwal kapal), nilai bulanan bisa berubah besar tanpa mencerminkan perubahan struktural jangka panjang.
Perdagangan Sepanjang 2025
Ekspor Belanda (dalam miliar USD) ke dunia per bulan bergerak dari sekitar 74,5 (Januari) hingga 88,3 (September). Impor Belanda dari dunia pada periode yang sama juga berfluktuasi: dari 65,0 (Januari) menjadi 74,7 (September). Pola perdagangan bulanan mengikuti siklus permintaan, stok, dan momentum harga internasional.
Berdasarkan negara, ekspor utama Belanda adalah Jerman, Belgia, Perancis,Inggris, dan Amerika Serikat. Sementara untuk impor adalah Jerman, Amerika Serikat, Belgia, China, dan Inggris.
Sementara itu, impor Belanda dari Indonesia per bulan sampai September berkisar antara 446,5 hingga USD 460,0 juta. Data juga menunjukkan lonjakan tajam pada komoditas (misalnya minyak/lemak nabati) atau pengiriman industri (kimia, mesin, elektronik). Bagi pelaku usaha, fluktuasi bulanan memengaruhi arus kas importir, kebutuhan gudang, dan strategi kontrak.
Ekonomi Belanda 2025
Di dalam negeri, inflasi (CPI) terakhir menunjukkan tren melandai: November 2025 tercatat 2,9% (yoy), turun dari 3,1% pada Oktober. Namun, penyumbang terbesar inflasi November berasal dari “perumahan, air, dan energi” (0,98 persen). Disusul berbagai barang dan jasa, makanan, serta akomodasi dan jasa makan-minum. Dengan kata lain, tekanan terbesar datang dari pos yang sulit dihindari rumah tangga.
Pasar perumahan juga memberi tekanan kuat. Harga rumah existing pada November 2025 naik 6,1% (yoy), dan naik 0,3% dibanding Oktober. Transaksi rumah meningkat: 18,224 transaksi pada November, dan total Januari–November mencapai 211,541 unit (naik hampir 16% yoy). Rata-rata harga transaksi November sekitar €477,531. Kita dapat menyimpulkan bahwa pasar bergerak dan likuiditas membaik, tetapi “tiket masuk” tetap tinggi bagi banyak keluarga.
Pasar tenaga kerja memberi sinyal campuran. Pengangguran total stabil di 4,0% pada September–November 2025, namun kenaikan terjadi terutama pada kelompok muda. Pengangguran usia 15–24 naik menjadi 9,1%, yang berarti transisi sekolah-ke-kerja lebih sulit, bahkan ketika ekonomi tidak sedang resesi. Menariknya, data arus (flow) menunjukkan lebih banyak orang menjadi penganggur daripada yang keluar dari status penganggur pada bulan tersebut, meski banyak juga yang berhasil mendapat kerja.
Di sisi investasi, CBS mencatat investasi aset tetap berwujud pada Oktober 2025 turun 0,4% (yoy), terutama karena penurunan investasi pada “other road transport” (truk, trailer, van, dsb.). Namun investasi pada mesin (termasuk perlengkapan pertahanan), infrastruktur, dan mobil penumpang justru naik. Hal ini memberi sinyal pergeseran: sebagian sektor menahan belanja modal, sementara sektor lain, termasuk yang terkait kebijakan publik dan keamanan, tetap ekspansif.
Secara makro, PDB Q3 2025 tumbuh 0,5% (quarter-on-quarter) dan 1,8% (year-on-year), ditopang ekspor dan konsumsi pemerintah. Ini sejalan dengan narasi bahwa Belanda masih ditarik oleh sektor eksternal dan belanja publik. Di fiskal, pemerintah mencatat defisit hampir €11 miliar pada tiga kuartal pertama 2025. Namun rasio utang terhadap PDB turun ke 42,4% karena ekonomi tumbuh lebih cepat daripada akumulasi utang.
Kebijakan 2025–2026
Sejak 1 Januari 2025 lalu, aturan baru menyentuh banyak sisi hidup: kenaikan upah minimum, perubahan bracket pajak, pengetatan praktik “false self-employment”, penyesuaian tunjangan keluarga, perubahan biaya dokumen, serta sejumlah aturan bisnis (misalnya DORA (Digital Operational Resilience Act) untuk ketahanan siber sektor keuangan/IT, penyesuaian skema KOR (Kleine Ondernemersregeling) atau skema usaha kecil, perubahan pajak kendaraan, dan ketentuan lain). Banyak di antaranya tidak langsung “tentang perdagangan”, tetapi ujungnya memengaruhi biaya tenaga kerja, kepatuhan, dan konsumsi; yang kemudian memengaruhi permintaan impor dan kemampuan ekspor.
Outlook 2026 melanjutkan kebijakan tahun 2025 dengan penyesuaian diantaranya: upah minimum naik lagi, struktur pajak bergeser tipis, beberapa biaya publik dan layanan meningkat (misalnya tarif transport dan energi), perubahan tunjangan sewa (lebih luas untuk usia 21+), kenaikan cukai BBM, dan kenaikan pajak perjudian. Ada pula isu yang relevan untuk perdagangan ritel lintas batas, misalnya rencana biaya penanganan paket dari luar UE serta perubahan PPN untuk akomodasi menginap. Kombinasi ini berarti tantangan 2026 bukan hanya “berapa besar perdagangan”, tetapi “berapa mahal biaya transaksi” bagi rumah tangga dan bisnis.
Apa Artinya bagi Indonesia?
Untuk Indonesia, peluang paling realistis tetap pada ceruk yang sudah terbukti sejauh ini: pasokan bahan baku/antara yang dibutuhkan industri (misalnya minyak/lemak nabati dan kimia tertentu) serta barang konsumsi yang tahan siklus (alas kaki, pakaian, furnitur, kopi/rempah, produk perikanan).
Tantangannya bagi Indonesia adalah: pangsa Indonesia masih kecil, sehingga persaingan ditentukan oleh konsistensi kualitas, kepastian pasokan, kepatuhan standar Eropa, dan kemampuan menahan volatilitas logistik.
Pada akhirnya, 2025 menunjukkan kepada kita bahwa Belanda sebagai ekonomi yang tetap “bernapas lewat perdagangan”, tetapi mood publik lebih banyak ditentukan oleh variabel sehari-hari: harga rumah, biaya energi, peluang kerja (terutama bagi anak muda), dan aturan pajak.
Dalam kondisi seperti ini, hubungan dagang Indonesia–Belanda tidak perlu dibesar-besarkan, tetapi juga tidak layak diabaikan. Meskipun berada dalam porsi kecil, namun cukup unggul dalam mata rantai produk tertentu, karenanya Indonesia harus selalu siap menyongsong tahun 2026.

