Repatriasi Warisan Budaya Benda Asal Indonesia di Belanda: Apa, Mengapa dan Bagaimana?

Repatriasi Warisan Budaya Benda Asal Indonesia di Belanda: Apa, Mengapa dan Bagaimana?

Sepotong tangan arca yang berasal dari Candi Prambanan akhirnya dikembalikan, setelah sekian lama ia dihantui mimpi buruk dan merasa didatangi oleh sang pemilik. “Potongan tangan patung tersebut dimasukkan ke dalam kotak disertai sebuah surat dan dikembalikan ke kedutaan. Ia mengaku bersalah karena telah mencuri,” ungkap Ratih Astary, counsellor Kedutaan Besar RI Den Haag, membuka acara Sosialisasi Repatriasi Warisan Budaya Benda Asal Indonesia di Belanda di Indonesia House Amsterdam, 10 Desember lalu.

Cerita itu terdengar personal dan mistis, tetapi justru mengantar kita pada inti persoalan repatriasi warisan budaya Indonesia yang kini banyak disimpan di Belanda. Benda budaya bukan sekadar objek mati: ia memuat sejarah, relasi kuasa, dan identitas kolektif sebuah bangsa. Ketika sebuah artefak diambil secara paksa dari asalnya baik melalui perang atau kekerasan kolonial maka relasi tersebut terputus. Oleh karena itu, repatriasi bukan hanya soal pemindahan fisik benda, melainkan upaya menyambung kembali relasi yang terputus itu.

Putu Supadma Rudana, Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia memaparkan rencana pengembangan museum di Indonesia (Foto: Hengky Kurniawan).
Putu Supadma Rudana, Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia memaparkan rencana pengembangan museum di Indonesia (Foto: Hengky Kurniawan).

Forum di Amsterdam tersebut memperlihatkan bahwa isu repatriasi kini mulai dibicarakan secara lebih terbuka dan substantif. Hadir perwakilan pemerintah, akademisi, seniman, praktisi museum, hingga mahasiswa dan peneliti diaspora. Diskusi dimulai dari manuskrip kuno, keris, arsip musik dan gamelan, hingga kesiapan museum Indonesia. Yang menarik, perdebatan tidak lagi berhenti pada pertanyaan “boleh atau tidak”, tetapi “bagaimana” dan “dengan dasar apa” repatriasi dilakukan.

Salah satu topik penting dalam diskusi adalah manuskrip Nusantara. Oman Fathuraman, ahli filologi dari UIN Jakarta, menjelaskan bahwa upaya digitalisasi manuskrip Indonesia di Leiden, Berlin, dan Inggris memang sudah berjalan cukup lama dan relatif masif. Program seperti DREAMS dan Kalamos membuka akses pengetahuan yang sebelumnya tertutup. Namun, digitalisasi tidak bisa dianggap sebagai jawaban final. Akses digital memang penting, tetapi bagi manuskrip yang jelas-jelas diambil dalam konteks penaklukan, persoalan etis tetap ada. Contohnya manuskrip dari Puri Cakranegara di Lombok, yang dirampas saat ekspedisi militer Belanda pada akhir abad ke-19. Lebih dari 500 manuskrip diambil dari satu pusat kebudayaan, memutus kesinambungan sejarah lokalnya.

Hal yang ditegaskan dalam forum ini adalah kriteria repatriasi. Pemerintah Indonesia menekankan bahwa yang diperjuangkan untuk dibawa pulang adalah benda-benda yang terbukti dirampas atau diambil secara paksa selama masa kolonial, terutama dalam konteks peperangan dan ekspedisi militer Belanda di Nusantara. Penentuan ini bertumpu pada provenance research, yakni penelitian asal-usul benda untuk memastikan apakah sebuah artefak layak direpatriasi. Benda yang diperoleh melalui jual-beli yang sah atau pemberian sukarela tidak termasuk dalam kategori ini. Penegasan tersebut penting, baik untuk menjaga legitimasi klaim Indonesia maupun untuk memastikan bahwa repatriasi berjalan secara adil, selektif, dan berbasis fakta sejarah.

Namun, praktik di lapangan tidak selalu sederhana. Banyak koleksi berada di wilayah abu-abu: dokumentasi tidak lengkap, katalog kabur, atau narasi kolonial yang menutupi kekerasan dengan istilah administratif. Dalam kondisi ini, ketergantungan pada peneliti Eropa masih sangat besar. Beberapa penanya dalam diskusi menyoroti minimnya investasi Indonesia untuk mendidik dan menempatkan peneliti asal Indonesia melakukan riset di museum-museum Eropa. Tanpa kapasitas riset yang kuat, repatriasi berisiko terus berjalan dalam kerangka pengetahuan kolonial yang lama.

Dimensi lain yang kuat muncul dalam pembahasan tentang keris. Bagi Basuki Teguh Yuwono, seorang empu keris yang juga terlibat dalam tim repatriasi, keris bukan sekadar senjata atau benda seni. Keris adalah sistem simbol. Di masa lalu, identitas etnik, status sosial, bahkan etika kekuasaan dibaca dari bentuk dan cara mengenakan keris. Keris pusaka selalu terkait dengan peristiwa sejarah: perang, perlawanan, dan kepemimpinan. Karena itu, keris-keris yang kini berada di Belanda, termasuk yang diduga terkait dengan Teuku Umar, Imam Bonjol, atau Diponegoro, tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonial yang melatarbelakangi perpindahannya.

Pengalaman repatriasi yang sudah berhasil memberi gambaran bahwa proses ini bukan sesuatu yang utopis. Pada masa tugasnya sebagai Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja memainkan peran penting dalam mempercepat repatriasi. Pada 2020 dan 2023, Belanda mengembalikan sejumlah artefak penting ke Indonesia. Di antaranya adalah keris Pangeran Diponegoro, tombak Kyai Plered, dan pelana kuda Diponegoro, benda-benda yang sebelumnya disimpan di museum Belanda dan diakui diambil dalam konteks Perang Jawa. Selain itu, sejumlah artefak dari Lombok, termasuk perhiasan emas dan benda ritual yang dirampas dalam ekspedisi militer 1894, juga berhasil dipulangkan.

Kasus-kasus ini penting karena menunjukkan dua hal. Pertama, pengakuan eksplisit dari pihak Belanda bahwa benda-benda tersebut diambil dalam konteks ketidakadilan kolonial. Kedua, adanya mekanisme kerja sama bilateral yang relatif konstruktif. Repatriasi tidak terjadi karena tekanan sepihak, tetapi melalui dialog diplomatik, riset bersama, dan kesepakatan etis. Pengalaman ini menjadi preseden penting bagi klaim-klaim repatriasi berikutnya.

Diskusi juga menyinggung arsip musik dan gamelan. Rekaman Jaap Kunst (dalam bentuk silinder lilin) merupakan dokumentasi awal musik Nusantara. Arsip ini merekam gamelan keraton, musik daerah di Sumatra, hingga Indonesia Timur. Nilainya bukan hanya historis, tetapi juga epistemik: ia merepresentasikan identitas musikal Indonesia sebelum modernisasi dan komersialisasi. Namun jika arsip ini hanya tersimpan di Eropa, manfaatnya sangat terbatas bagi masyarakat asalnya. Repatriasi, atau setidaknya pengembalian akses dan hak kelola, memungkinkan arsip tersebut kembali hidup sebagai sumber pembelajaran dan inspirasi.

Kekhawatiran tentang kesiapan museum Indonesia muncul berulang kali. Ada kekhawatiran tentang rendahnya pengunjung, risiko penggelapan, hingga pendanaan. Kekhawatiran ini valid, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda keadilan historis. Data menunjukkan bahwa museum-museum nasional kini mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah pengunjung dan kualitas tata kelola. Selain itu, gagasan jejaring museum adalah bukan hanya terpusat di Museum Nasional Jakarta, namun membuka kemungkinan distribusi koleksi yang lebih kontekstual, mendekatkan artefak dengan komunitas asalnya.

Repatriasi pada akhirnya adalah soal pilihan kebijakan dan keberanian politik. Ia menuntut negara untuk tidak hanya meminta, tetapi juga siap merawat, meneliti, dan memaknai ulang warisan tersebut. Museum harus dipahami sebagai ruang hidup kebudayaan, bukan sekadar ruang penyimpanan. Dalam kerangka ini, repatriasi bukan tindakan simbolik belaka, melainkan investasi jangka panjang bagi pemajuan kebudayaan.

Penyerahan simbolis rencong dan mandau oleh David Gallas kepada perwakilan Indonesia (Foto: Hengky Kurniawan).
Penyerahan simbolis rencong dan mandau oleh David Gallas kepada perwakilan Indonesia (Foto: Hengky Kurniawan).

Di akhir acara, David Gallas, chairman dari De Stichting Behoud Nederlands Ind(ones)isch Cultureel Erfgoed (Yayasan Pelestarian Warisan Budaya Belanda-Indonesia), menyerahkan sebuah rencong dan mandau kepada perwakilan Indonesia. Penyerahan ini bersifat simbolis, namun bermakna sebuah pengakuan personal atas sejarah dan asal-usul benda, sekaligus isyarat bahwa proses pengembalian dapat datang dari kesadaran individu. Dalam forum tersebut disampaikan pula bahwa pengembalian semacam ini masih akan berlanjut, seiring meningkatnya kesadaran publik di Belanda tentang sejarah koleksi-koleksi Nusantara.

Semoga niat Belanda mengembalikan warisan budaya Indonesia tidak lahir karena “mimpi buruk” seperti yang dialami pencuri arca di Prambanan, melainkan dari kesadaran etis dan pengakuan atas ketidakadilan masa lalu. Repatriasi yang tulus bukan tentang menghapus sejarah kolonial, tetapi menatanya kembali secara lebih adil dengan mengembalikan apa yang memang dirampas, dan membiarkan yang sah tetap berada pada tempatnya.

Foto bersama David Gallas dengan panitia dan perwakilan Pemerintah Indonesia di akhir acara (Foto: Hengky Kurniawan).
Foto bersama David Gallas dengan panitia dan perwakilan Pemerintah Indonesia di akhir acara (Foto: Hengky Kurniawan).

Posts Releases

1 2 3 4