Telepon genggam saya bergetar. Sebuah pesan lewat Whatsapp masuk. “Mas, kalau mau beli daging halal dekat sini di mana ya?” sebuah pesan pendek yang dikirim oleh Miko, teman lama yang baru saja pindah ke Amsterdam. “Oh bisa beli di Toko Bismillah dekat Jumbo Gein”, jawab saya. “Ah, bercanda!!”, balas pesan Miko lebih lanjut.
Mungkin jawaban saya tidak punya kredibilitas mengabarkan kebenaran, ia pikir saya bercanda; mana mungkin sebuah toko memiliki nama yang sangat harfiah yang berasosiasi produk halal. Di Indonesia, sekalipun toko yang menjual daging halal, tidak pernah ada nama seperti itu, ke-Arab-araban atau ke-Islam-islaman. Yang ada justru: Toko Daging Pak Kumis atau Tukang Potong Daging Kang Gembrot.
Bismillah adalah sebuah toko sembako yang sekaligus merupakan toko daging (atau slagerij, orang Belanda biasanya menyebut), yang menjual produk halal. Ia terletak di winkelcentrum Gein, pusat perbelanjaan kecil yang tidak jauh dari Stasiun Metro Gein tempat berlabuh Metro 54 dan 53. Seperti yang banyak bertebaran di internet, mungkin ini sebuah toko yang mengungkapkan jati-dirinya sendiri dan menjadi sebuah meme.
“Tell me your shop is a halal shop without telling your shop is a halal shop”, suatu ungkapan yang tidak menggigit apabila dituliskan dalam bahasa Indonesia. Ia mungkin dapat berarti begini: “Katakan tokomu adalah toko halal tanpa mengatakan bahwa tokomu adalah toko halal.” Meskipun William Shakespeare pernah berujar, “Apalah arti sebuah nama?”, tetapi Bismillah tentulah sebuah nama yang sangat berarti: ia adalah toko halal.
Bismillah, satu dari ratusan toko daging halal yang terdapat di Amsterdam merupakan oase bagi umat Muslim yang bermukim di Amsterdam termasuk dari Indonesia. Jangan memanggil pegawainya dengan Muhammad; karena itu hanya nama depan semua pegawai di sana yang hampir semuanya berasal dari Pakistan. Bisa saja anda sok akrab dengan memanggil nama depan layaknya orang Belanda tetapi justru itu menandakan anda adalah pelanggan baru dan hanya mengenal nama satu orang.
Saya tentu ke sana bukan karena mencari daging halal tetapi karena harganya lebih murah dari supermarket dan pelanggan dapat meminta potongan sesuai selera. Ada lagi yang penting bagi saya: ia menjual babat, hati, jantung, ampela, dan paruh yang saya perlukan untuk membuat Soto Betawi, Soto Babat atau Bubur Ayam Cirebon; yang jelas tidak akan ditemukan di slagerij Belanda totok! Kadang saya meminta kulit ayam dan kaki ayam untuk minyak Mie Ayam, tetapi permintaan meningkat dari banyak pelanggan, sekarang Bismillah men-charge 2 Euro per kilo! Tidak lagi gratis! Sambil menunggu Hakim menyiapkan pesanan kikil sapi pikiran saya pun melayang.
Suasana winkelcentrum Gein Amsterdam tempat Toko Bismillah berada
Sebagai negara yang sekuler dengan sejarah Kekristenan yang sangat lama, saat ini, jumlah umat Muslim di Belanda diperkirakan mencapai 5-6% dari total populasi, sekitar 850 ribu hingga 1 juta orang. Pada tahun 2022, sekitar 6% penduduk berusia 15 tahun ke atas menyatakan diri beragama Islam. Di kota-kota besar seperti Rotterdam, proporsi Muslim mencapai 13-15%, bahkan Kota Rotterdam pernah memiliki seorang walikota keturunan Maroko, Ahmed Aboutaleb, yang memimpin tahun 2009-2024.
Sekitar 400-500 masjid tersebar di seluruh negeri dengan jumlah terbesar di kota-kota besar: lebih dari 200 masjid berasal dari komunitas Turki, sekitar 140 dari Maroko, dan sekitar 50 dari Suriname. Masyarakat Indonesia juga memiliki beberapa masjid di Belanda, diantaranya adalah Masjid Al-Hikmah di Den Haag, Masjid Al-Ikhlas di Amsterdam, dan Masjid Bait Al-Rahmaan di Ridderkerk yang merupakan masjid warga keturunan Maluku. Bahkan saya mendengar di Utrecht baru saja berdiri sebuah komunitas plus masjid bernama Stichting Generasi Baru (SGB).
Gelombang besar pertama umat Muslim datang sebagai “pekerja tamu” dari Turki dan Maroko antara 1960-1970-an untuk mengisi kekurangan tenaga kerja akibat perang dunia II. Imigran kemudian datang melalui jalur reunifikasi keluarga dan suaka, termasuk dari bekas Yugoslavia, Somalia, Irak, Iran, Afganistan, dan Suriah. Jejak Islam di Belanda sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-16 yaitu pedagang era Ottoman dan era Hindia Belanda, tetapi baru meningkat secara signifikan pasca perang dunia II. Bahkan, di Belanda terdapat seorang tokoh Muslim yang sangat dikenal di Hindia Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, yang membantu Pemerintah Hindia Belanda saat itu dalam menaklukan gerakan Islam di Indonesia.
Tantangan Integrasi dan Diskriminasi
Seorang pelanggan sedang menunggu pesanan daging
Berbagai macam produk Asia dijual di sini
Sebuah laporan survei tahun 2010 yang bertajuk “At Home in Europe Project” yang dilakukan oleh Open Society Foundations, di Rotterdam, terutama di kawasan Feyenoord, meskipun banyak yang memiliki ikatan kuat dengan kotanya namun lebih dari setengah responden Muslim (56%) tidak merasa sebagai “Belanda”. Sebuah survei yang dilakukan oleh Agency for Fundamental Rights (FRA) 2017 menunjukkan 65% Muslim dari Afrika Utara melaporkan pernah didiskriminasi dalam 5 tahun terakhir dan 49% merasakan diskriminasi dalam 12 bulan terakhir.
Di kota besar seperti Den Haag, tingkat keterwakilan Muslim cukup tinggi hingga 14-15% namun hal ini juga membuka perdebatan tentang ekstremisme dan integrasi. Komunitas Muslim aktif melalui organisasi seperti SPIOR (Stichting Platform Islamitische Organisaties Rijnmond) atau Yayasan Platform Organisasi Islam Rijnmond yang menyediakan pendidikan Islam di sekolah negeri dan ikut merayakan peristiwa nasional seperti King’s Day atau hari ulang tahun raja.
Banyak Muslim Belanda merasa selalu dilabeli “Muslim” meski lahir dan besar di Belanda dan merasa terpinggirkan. Seorang mantan anggota parlemen Belanda, Tofik Dibi, menolak menyebut dirinya Belanda-Maroko karena identitasnya selalu diseret ke isu agama dan kriminalitas. Di media sosial Reddit, ada curahan pengalaman diskriminatif secara verbal di ruang umum, bahkan ketika orang tersebut sudah meninggalkan agama Islam. Narasi anti-Muslim juga merambah dari ranah politik ke percakapan sehari-hari. Seorang mahasiswa menyebut bahwa beberapa orang, termasuk pelatih gym, mendukung pencabutan hak imigran Muslim demi keuntungan ekonomi sendiri.
Geert Wilders dan Politik Anti-Islam
Politikus kanan garis keras Geert Wilders, pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV), paling vokal dalam kampanye anti-Islam: ia mendorong pelarangan Al-Qur’an, penutupan masjid baru, dan larangan imigrasi Muslim. Ia juga pernah menyamakan Al-Qur’an dengan Mein Kampf, sebuah otobiografi dan manifesto politik yang ditulis oleh pemimpin Partai Nazi, Adolf Hitler. Pada 2010–2011, Wilders diadili atas tuduhan ujaran kebencian dan diskriminasi terhadap Muslim dan Maroko akan tetapi akhirnya dibebaskan.
Ketika terjadi konflik setelah pertandingan sepak bola antara Ajax dan Maccabi Tel Aviv tahun 2024, Wilders menyalahkan “orang-orang Maroko” dan menyerukan pencabutan paspor dan deportasi jika terbukti melakukan kekerasan. Retorikanya terbukti mendorong lonjakan survei diskriminasi dalam seminggu, 800 pengaduan diterima ke badan anti-diskriminasi di Rotterdam, padahal biasanya hanya seribu dalam setahun. Sentimen anti Islam juga cukup meluas setelah masyarakat Belanda mengetahui kasus kontroversial yang dialami oleh Lale Gül, wanita keturunan Turki yang mengalami kekerasan dalam keluarganya yang ia ceritakan dalam buku yang berjudul “Ik ga leven”, Aku akan hidup.
Menurut Pusat Statistik Belanda, CBS, Islam merupakan kelompok agama terbesar kedua di Belanda 5-6%, dengan pengaruh penting di bidang pendidikan, politik, seni, olahraga, dan media. Dominasi Kristen masih utama di Belanda dengan kisaran 20-25% yang terbagi ke dalam aliran Katolik Roma, Protestan, Ortodoks dan lainnya. Selain itu terdapat Hindu sekitar 1%, Buddhisme 0,5%, Yahudi 0,1%. Meskipun demikian, populasi terbesar adalah mereka yang tanpa agama baik agnostik dan ateis yang berkisar antara 50-55%.
Belanda memiliki tradisi multikulturalisme yang tinggi sejak 1980-an, pemerintah mengadopsi kebijakan yang lebih mengakomodasi keberagaman agama dan budaya, meskipun tekanan integrasi tetap tinggi. Pembunuhan Theo van Gogh pada 2004 oleh seorang ekstremis mengguncang Belanda sebagai negara toleran, memicu kemarahan publik, serta memperlihatkan rapuhnya konsensus tentang kebebasan berekspresi, ekstremisme, dan multikulturalisme.
Theo van Gogh adalah seorang pembuat film, penulis, dan kolumnis Belanda yang dikenal karena pandangan provokatif dan kritik tajamnya terhadap Islam serta budaya multikultural. Peristiwa ini memperuncing ketegangan dalam masyarakat Belanda, ditandai dengan meningkatnya sentimen anti-Muslim, serangan terhadap masjid dan sekolah Islam, serta kebijakan imigrasi dan integrasi yang semakin ketat.
Di sisi lain, politikus Muslim seperti Ahmed Marcouch, seorang Muslim Maroko yang menjadi kepala distrik di Amsterdam, mencoba menjembatani nilai liberal dengan identitas Muslim. Strategi ini berhasil dan sejak 1 September 2017 hingga saat ini Ahmed Marcouch dipercaya untuk menjabat sebagai Walikota Arnhem.
Komunitas Muslim bagaikan satu kepingan mozaik dalam lukisan multikulturalisme Belanda. Sebuah melting pot: tempat berkumpul bagi lebih dari 180 bangsa dan peradaban dunia, bahkan warna-warni dalam lukisan kubus Piet Mondrian tidak sebanyak itu.
“Brother!!”
Lamunan sontak berhenti ketika Hafiz melemparkan sebuah panggilan akrab ke saya (dan tentu saya tidak pernah memanggilnya dengan Muhammad); menandakan pesanan telah selesai dibungkus dan harus segera dibayar. Berbelanja di Toko Bismillah tentu sangat menggembirakan hati karena menandakan hari ini saya akan memasak makanan Indonesia walaupun harus merogoh kocek lebih banyak karena kata orang ini makanan sultan kalau di Belanda; entah Soto Betawi, Sop Buntut, atau Bubur Ayam Cirebon dengan sate hati sapi dan telur puyuh!
Hanya satu saja yang membuat hati kecewa: ia tidak pernah menyediakan usus ayam! Ia tidak tahu bagaimana lezatnya Bubur Ayam Cirebon dengan Sate Usus Ayam! Bubur Ayam Cirebon tanpa Sate Usus itu bagaikan Starry Night-nya Vincent van Gogh tanpa bintang-bintang.
Apakah perlu saya selalu bertanya dua kali, sepuluh kali, dua puluh kali,…, atau tujuh ratus lima puluh kali layaknya usia Kota Amsterdam Oktober tahun ini?





